DION RANGGA
Senin, 20 November 2017
Dari orangtua untuk orangtua
Cuma sekali anak-anak kita berusia 3 tahun dan ingin bernanja-manja di pangkuan kita. Cuma sekali anak kita berusia 5 tahun dan ingin bermain-main dengan kita. Cuma sekali mereka berusia 10 tahun dan senang berada bersama kita saat bekerja. Cuma sekali mereka beranjak dewasa dan ingin menjadikan kita sebagai teman bicara. Cuma sekali mereka berada di universitas dan ingin bertukar pikiran atau pendapat dengan kita. Jika kita kehilangan kesempatan -kesempatan ini maka kita kehilangan anak-anak kita untuk selamanya dan mereka sesungguhnya tidak memiliki orangtua.
Sabtu, 19 April 2014
M. AZARIAH DAN TEOLOGI DALIT
M. AZARIAH
DAN TEOLOGI DALIT
Dionisius Rangga
I. Introduksi
:
Teologi
Dalit adalah cabang teologi Kristen yang membicarakan tema pembebasan terhadap
sistem kasta di India. Teologi Dalit muncul sekitar tahun 1980 sebagai bentuk
keprihatinan terhadap kemiskinan dan peminggiran yang dialami oleh kasta rendah
di India. Salah satu tokoh penting yang menjadi pionir tologi Dalit adalah M.
Azariah, seorang uskup di kota Madras.
II.
M. AZARIAH DAN TEOLOGI DALIT DI
INDIA
2.1 Etimologi Dalit
Dalam
bahasa Sansekarta Dalit berarti “Patah, diinjak-injak tertindas”. Entah ada
hubungan atau tidak, kata Dalit mirip
dengan kata Ibrani Dal yang juga berarti
Patah atau Diinjak-injak. Dengan demikian, secara etimologi kaum Dalit adalah
orang-orang yang patah atau tertindas. Orang-orang ini hidup dalam tekanan
ekonomi dan social. Kaum Dalit biasanya bisanya bekerja sebagai sewaan oleh
para tuan tanah. Mereka juga adalah orang-orang yang terlempar dari kasta.
Secara ekonomi Kaum Dalit termasuk miskin, pekerjaan mereka menjadi budak dan
memiliki penghasilan yang sangat rendah. Sedangkan secara politis, mereka tidak
memiliki kuasa. Mereka juga merupakan kaum
minoritas yang tidak dapat bersosialisasi, bahkan penggunaan fasilitas-fasilitas
umum, misalnya sumur dan kuil dilarang digunakan. Dari sisi keagamaan, kaum
Dalit dikenal/dipandang sebagai kaum yang tercemar dalam ritus keagamaan.
2.2
Latar Belakang Teologi Dalit
Sistem
kasta adalah suatu cara mengorganisasi masyarakat. Sebuah kasta bersifat
turun-temurun. Kasta ini sekaligus mencerminkan pekerjaan seseorang. Di India
terdapat empat kasta yaitu: Brahman (Imam/cendekiawan),
Ksatria (prajurit/pejuang)Waisya (pedagang), dan Sudra (Pekerja/petani). Kaum Dalit
adalah kelompok tersendiri yang tidak termasuk dalam keempat kasta ini. Mereka
adalah orang-orang yang terbuang dalam kelompok masyarakat India. Sebagian besar
dari mereka berprofesi sebagai buruh dan pengemis.
Kemiskinan
mrp salah satu pemicu lahirnya teologi Dalit di India. Kemiskinan di India
terlihat pada penduduknya, di mana sebagian sangat kaya dan banyak sekali yang
miskin. Situasi yang terjadi pada tahun 1944 yaitu India sedang mengalami
kelaparan di mana-mana, terdapat perbedaan tajam antara kelompok sosial, di
mana sekelompok kecil kaya sementara banyak yang miskin. Selain itu ditambah
lagi karena adanya kemasabodohan di antara kelompok sosial, khususnya oleh
mereka yang kaya terhadap mereka yang miskin. Berdasarkan sensus kepada
masyarakat India tahun 1961dari 439 juta jiwa penduduk India, terdapat 64 juta
jiwa yang termasuk dalam kelompok Dalit. Kemudian tahun 1971
tercatat 80 juta kaum Dalit dari total 548 juta penduduk India. Pada tahun
1981, hasil sensus di Tamil Nadu kaum Dalit mencapai lebih dari 18 %. Bahkan
pada tahun 1991 sekitar 138 juta orang adalah kaum Dalit dari 846 juta total
penduduk India.
2.3
Pemikiran Teologis Teologi Dalit
Pemikiran
teologis Dalit terinspirasi oleh ideologi yang menyerukan pembebasan terhadap
segala bentuk penindasan yang terdapat di seluruh dunia. Semangat pembebasan
ini disesuaikan pada konteks India dengan ajakan untuk mencoba mengakui dan
membangun kembali kehidupan komunitas yang
difokuskan pada kaum Dalit. Hal ini dikarenakan kaum Dalit dianggap
sebagai orang-orang yang tak tersentuh dan orang yang tak terlihat. Masuknya
kekristenan di India menyebabkan munculnya teologi Dalit.
Teologi
Dalit juga merupakan refleksi yang timbul dari masyarakat di India karena
adanya sistem kasta yang berlaku bagi siapa saja yang tinggal di India. Teologi
Dalit menegaskan adanya hubungan dengan ‘pain
– pathos ' sebagai ranah berteologi
yang mewakili kebudayaan dan keagamaan kaum Dalit. Selain itu, teologi Dalit
juga dihubungkan dengan Yesus. Penderitaan komunitas kaum Dalit mempunyai
persamaan dengan penderitaan yang dialami Yesus.
Beberapa
orang mengatakan bahwa berteologi Dalit hanya dapat dilakukan oleh para Dalit
itu sendiri yang telah mengalami penindasan. Namun, kita harus menyadari bahwa
Allah berpihak kepada semua orang, baik kepada kaum Dalit atau bukan Dalit.
“Kuasa dan kekuatan yang besar”dan “menggemparkan”menunjuk kepada keperluan
kaum Dalit untuk berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Tujuannya adalah
martabat manusia sebagai umat Allah yang setara (humanisme). Teologi Dalit juga
bersifat doksologis. Bagi kaum Dalit yang menjadi Kristen dari agama Hindu
merupakan pengalaman eksodus (keluaran)yang membebaskan. Pengalaman ini
mengandung pengharapan eksodus dari para kaum Dalit untuk mendapatkan
pembebasan sepenuhnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa kaum Dalit tidak akan
dibebaskan jika sistem kasta sebagai penataan masyarakat tidak turut dirubah.
2.
4 Yesus dan Kaum Dalit di India
Karya
Allah pada kebangkitan Yesus merupakan realitas eskatologis. Kebangkitan
menunjukkan bahwa Yesus berada dalam
ruang dan waktu, bukan terpisah melainkan merupakan sebuah totalitas. Hal
tersebut tidak hanya sebuah sejarah, melainkan sebagai bentuk keterlibatan
secara penuh dan mendalam antara zaman
Yesus dengan masa manusia sekarang, karena tidak mungkin tercapai realitas
eskatologis tanpa manusia ikut berproses di dalam sejarah. Pendekatan seperti
ini dapat dianalogikan terhadap Yesus
dan kaum Dalit dengan melihat keterlibatan teologi dalam kehidupan nyata,
partisipasinya dalam keprihatinan, serta impiannya untuk memperjuangkan
kelompoknya.
Yesus
dalam kehidupanNya juga memberikan perhatian kepada orang miskin dan tersiksa,
para pendosa, orang asing, orang Samaria dll, yang dianggap sama dengan kaum
Dalit. Yesus tidak menarik diri atau menolak
mereka, melainkan ikut serta dan menghabiskan banyak waktu pelayanan
kepada mereka. Dalam Injil, Yesus menyebut kalangan ini dengan beberapa sebutan
seperti: “Domba tanpa Gembala”(Mrk. 6:34) dan mengakui mereka sebagai “Saudara-saudaraKu”(Mrk.
3:34). Kemudian Yesus memperjelas ungkapan Saudara-saudaraKu dengan
menggambarkan mereka sebagai orang yang kelaparan, kehausan, mereka yang
tidak berpakaian, orang yang tidak
dikenal, orang yang sedang sakit (Mat.25:31-46). Menurut Yesus, kelompok
seperti kaum Dalit merupakan target pelayanan di dunia dan termasuk obyek dari
kematian Yesus di kayu salib. Yesus sebagai seorang Dalit menjadi pintu masuk
menemukan formulasi teologi Dalit. Dalam beberapa konteks Yesus dilihat sebagai
Pembebas. Teologi Pembebasan dalam komunitas Dalit menjadi sebuah harapan
karena Allah yang ikut menderita. Sehingga rumusan teologi Dalit sama dengan
teologi Pembebasan dan teologi Harapan.
III.
Catatan Kritis terhadap Pemikiran Teologi
Dalit Berdasarkan Lima Kriteria yang Dicetuskan Robert Schreiter:
1.
Sebuah rumusan Teologi harus memiliki konsistensi Internal:
Teologi
Dalit lahir di India sebagai reaksi atas realitas ketidakadilan yang menimpa
sebagian masyarakat India, yang menjelma dalam berbagai bentuk: kemiskinan,
penindasan, keterasingan. Sistem kasta di India dinilai dan dituduh sebagai
salah satu penyebab keberadaan dan ketermarginalan kaum Dalit. Teologi Dalit
dicetuskan untuk memperjuangkan HAM dan martabat kaum Dalit yang tidak mendapat
tempat yang layak dalam kelas sosial masyarakat India. Situasi ketermarginalan
kaum Dalit tentu bersebrangan dengan prinsip kemanusiaan yang benar dan
terutama dan pandangan Kristen bertentangan dengan nilai-nilain Kerejaan Allah
yang diwartakan Yesus dan ingin dicapai manusia. M. Azariah mencetuskan rumusan
teologi Dalit-nya dengan bertolak dari figur Yesus sendiri. Yesus dengan M.
Azariah memang hidup di dua zaman yang
berbeda, namun keduanya justru “berpapasan” pada sebuah konteks yang hampir sama
yaitu situasi ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan dan keterasingan yang menimpa
orang-orang kecil dan miskin. Karena itu, bisa dilihat bahwa teologi
Dalit mengusung misi Kerajaan Allah bagi masyarakat kecil dan miskin di India
sebagai sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh Yesus dahulu. Situasi
Kerajaan Allah hanya mungkin dialami kalau kaum Dalit di India sungguh-sungguh
bebas dari realitas penindasan dan kemiskinan.
2.
Sebuah ungkapan yang benar
tentang Teologi Kontekstual mesti bisa diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian.
Prinsip dasarnya adalah Lex Orandi, Lex
Credendi (Cara kita berdoa mengacu pada cara kita beriman, dan sebaliknya)
Apakah
teologi Dalit sungguh relevan dengan situasi social religius masyarakat India
yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu?. Sejauh yang saya pelajari dan
ketahui bahwa tradisi Hindu menekankan kebahagiaan adalah hidup dalam kekinian
yang bisa dicapai melalui meditasi/yoga yang mereka lakukan. Jadi bisa dilihat
bahwa situasi social ekonomis tidak selalu menjadi jaminan bagi kebahagiaan
manusia. Jika teologi Dalit ini hanya diarahkan kepada kaum Dalit Kristen maka
teologi Dalit saya nilai tepat sasar. Akan tetapi, jika kepada seluruh
masyarakat India (termasuk orang Hindu di dalamnya) maka, teologi Dalit akan
mengalami hambatan dengan kaum Dalit
Hindu yang memiliki sudut pandang yang berbeda tentang kemiskinan, kebahagiaan,
kebebasan.
3.
Kriteria Ortopraksis: “Dari
buahnyalah kamu akan mengenal Mereka”(Mat.
7:16)
Orientasi
dasar teologi Dalit adalah kaum Dalit dan situasi yang mereka hadapi dengan sistem kasta yang berlaku di
India. Kelihatannya bahwa teologi Dalit sangat netral dalam tujuaannya, dalam
arti dicetuskan oleh orang Katolik tetapi dengan tujuan untuk orang-orang
miskin di seluruh India(bukan hanya orang Katolik yang miskin). Dan juga
teologi ini berusaha untuk melawan system kasta bukan hanya kepada salah satu
kasta tertentu.
4.
Sebuah Teologi harus terbuka
terhadap pendapat-pendapat lain:
Teologi
Dalit sudah cukup terbuka terhadap pendapat-pendapat lain yang menyangsikannya
misalnya ada pendapat bahwa teologi Dalit hanya bisa dilakukan oleh kaum Dalit
itu sendiri yang mengalami penindasan. Namun, kritikan atau pendapat seperti
itu tidak membatalkan atau menyurutkan semangat juang teologi Dalit. Teologi
Dalit memiliki argumennya sendiri berhadapan dengan perbedaan pendapat seperti
ini. Menurut teologi Dalit kita harus menyadari bahwa Allah berpihak kepada
semua orang, baik kepada kaum Dalit atau bukan Dalit. “Kuasa dan kekuatan yang
besar”dan “menggemparkan”menunjuk kepada keperluan kaum Dalit untuk berusaha
memperjuangkan hak-hak mereka. Tujuannya adalah martabat manusia sebagai umat
Allah yang setara (humanisme).
5.
Sebuah Teologi harus memiliki
kekuatan untuk menantang teologi-teologi lain.
Saya
menilai teologi Dalit mengusung misi yang sungguh mulia yakni memperjuangkan
nilai-nilai Kerajaan Allah bagi kaum Dalit di India yakni kebebasan,
kebahagiaan, mendapatkan pengakuan atas keberadaan mereka dan mendapatkan
perlakuan yang layak sebagai manusia yang bermartabat. Namun, nilai-nilai Kerajaan
Allah itu masih terkukung dan dibelenggu kuat oleh sistem kasta yang sangat
kental. Untuk menyingkapkan nilai-nilai itu maka hal pertama yang harus
dibongkar adalah “si tukan belenggu” itu sendiri yaitu sistem kasta yang sudah
mendarah daging dalam diri orang-orang India. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa teologi Dalit sebenarnya berhadapan
dengan sebuah benteng yang sungguh kuat dan kokoh yang akan menghadang usahanya
untuk mewujudkan misinya secara penuh. Apakah teologi Dalit mungkin??
Sumber-sumber:
Internet
Michael Alamadoss . Teologi Pembebasan Asia. p. 40-42,
47-50, 50-53
A.Yewangoe. Theologia Cruicis Di Asia. p. 38-39, 69-76, 84-90.
Douglas J. Elwood. Teologi Kristen Asia. p. 106-107, 112
INCEST DARI PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK
MENILAI
PERKARA INCEST
(PERKAWINAN
HUBUNGAN SEDARAH)
DARI
PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK
Dionisius Rangga
I. Pendahuluan
Dari sekian banyak masalah asusila
yang terjadi di antara umat manusia dan juga umat beragama (Katolik) dari dulu
hingga dewasa ini, masalah insest atau perkawinan hubungan sedarah merupakan
salah satu masalah yang cukup memprihatinkan dunia dan juga Gereja. Gereja
Katolik memiliki pandangan tersendiri terhadap masalah ini. Karena itu, penulis
memilih dan mengangkat masalah “Incest”
sebagai topik yang akan dibahas dan dikupas serta dianalisis dalam tulisan ini
dari perspektif Hukum Kanonik Gereja
Katolik.
II. Kronologi Kasus
Pada sekitar tahun 2000 di sebuah
kampung seorang wanita lajang berumur 30 tahun atas nama Yohana melahirkan
seorang anak laki-laki yang kemudian anak itu diberi nama Us. Peristiwa
kelahiran itu sempat menimbulkan pertanyaan dan kebingungan banyak orang
termasuk anggota kelurganya perihal siapakah ayah dari anak itu. Segenap
anggota keluarga dan seluruh warga kampung cukup terkejut setelah mendengar
pengakuan Yohana bahwa laki-laki yang telah menghamilinya adalah Alfons yang
adalah saudara sepupu kandungnya sendiri (bapak kakak adik kandung). Saudaranya
yang telah menghamilinya itu sejak beberapa bulan sebelumnya sudah menghilang
dari rumah dan kampung entah ke mana setelah mengetahui dirinya telah
mengandung dari hubungan terlarang mereka. Us dilahirkan dan dibesarkan oleh Yohana
dengan keluarga yang lain. Dari kasus ini timbul sejumlah pertanyaan: Bagaimana
dengan keberadaan dan status hukum Us sebagai anak yang lahir dari hubungan
incest? Apakah nanti baik Alfons maupun Yohana bisa atau diperkenankan untuk
menerima dan diterimakan sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik, termasuk
sakramen perkawinan yang sah dengan pasangan mereka masing-masing? Melalui
tulisan ini, penulis ingin menjelaskan persoalan/kasus dan
pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik.
III. Analisa dan Penilaian atas Kasus
dari Perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik
Dalam
Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan incest tidak dilihat atau digolongkan sebagai salah satu jenis
hubungan perkawinan baik sah maupun putatif, tetapi dilihat sebagai salah satu
halangan bagi sebuah perkawinan yang sah, yaitu karena memiliki hubungan darah
(consanguinitas). Dalam hubungan
dengan kasus di atas, beberapa nomor hukum kanon memberikan penjelasan khusus
terhadap permasalahan yang dialami oleh Yohana, Alfons dan Us.
a. Kanon 1058:
Semua orang
dapat melakukan perkawinan sejauh tidak dilarang hukum[1].
Kanon ini menjelaskan bahwa semua
orang memang mempunyai hak kodrati untuk menikah, namun hanya mereka yang tidak
dilarang oleh hukum dapat menikah dengan sah. Berdasarkan pernyataan nomor
kanon ini, tampak jelas bahwa hubungan Alfons dan Yohana tidak dapat
diresmikan/disahkan dalam perkawinan Katolik, karena pada bagian lain dari
hukum kanonik ini, melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki
hubungan darah dekat. Namun demikian, larangan dan halangan nikah ini tidak
bertujuan untuk menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, namun untuk
mengatur pelaksanaannya. Itu berarti bahwa hak kodrati Yohana maupun Alfons
untuk menikah tidak dihapus. Baik Yohana maupun Alfons tetap boleh menikah
dengan pasangan mereka masing-masing. Dan pernikahan itu dianggap sah hanya
jika permasalahan keduanya telah diselesaikan baik secara Gereja maupun secara
hukum adat. Selain itu, harus ada keterbukaan dan kejujuran dari keduanya
terhadap pasangan mereka masing-masing tentang masalah hubungan mereka
sebelumnya dan juga tentang keberadaan Us anak mereka. Keterbukaan dan
kejujuran ini penting untuk menghindari terjadinya masalah penipuan yang bisa
menggagalkan sahnya perkawinan mereka (baik Alfons maupun Yohana dengan
pasangan mereka masing-masing), jika permasalahan hubungan keduanya sebelumnya
itu diketahui dan dipersoalkan setelah mereka menikah dengan pasangan mereka
masing-masing.
Karena larangan dan halangan ini
sifatnya membatasi hak kodrati untuk menikah, perlu ada alasan-alasan yang
wajar untuk melindungi, baik pribadi yang bersangkutan maupun institusi
perkawinan itu sendiri. Pertama, Agar
yang bersangkutan dapat menikah dan menghidupi perkawinan sesuai dengan paham
dan ajaran Gereja Katolik. Kedua, Untuk
mencapai nilai-nilai dan tujuan tertentu perkawinan hanya dapat dilangsungkan
setelah memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga,
Demi kepentingan umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat karena bagaimanapun
perkawinan sekaligus bersifat personal dan sosial.[2]
b. Kanon 1091:
§1:
Tidak sahlah perkawinan antara mereka yang berhubungan darah dalam garis
keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang alami[3]
Lebih lanjut, ditegaskan bahwa
cakupan dalam garis lurus tidak ada batasnya, sedangkan dalam garis menyamping,
halangan hanya sampai dengan tingkat keempat. Halangan nikah hubungan darah ini
ada yang bersifat kodrati dan ada pula yang bersifat Gerejawi. Menurut kanon
ini, hubungan darah garis lurus ke atas dank e bawah dalam semua tingkat dan
hubungan darah garis menyamping tingkat kedua adalah hokum kodrati. Karenanya,
menurut Gereja, dari halangan ini tidak mungkin diminta dispensasi. Sementara
itu, halangan nikah hubungan darah garis menyamping tingkat III dan IV
merupakan hukum Gerejawi, karena itu dalam keadaan tertentu dapat didispensasi.
Berdasarkan pernyataan kanon di atas, menjadi jelas bahwa hubungan antara Alfons
dan Yohana dalam kasus ini merupakan hubungan terlarang dan tidak sah serta
tidak bisa diangkat ke martabat perkawinan Katolik karena keduanya memiliki
hubungan darah consanguinitas legitima
atau hubungan darah yang muncul dari sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran Us
dari hubungan mereka ini tidak dapat menjadi alasan bagi mereka untuk hidup
sebagai pasangan suami istri yang disahkan oleh sakramen perkawinan Katolik.
Gereja mengetengahkan adanya
halangan nikah hubungan darah ini dengan beberapa tujuan, antara lain; Pertama, secara moral; untuk melindungi
kepentingan keluarga atau demi cinta kasih antaranggota keluarga sendiri.
konkretnya, agar cinta kasih persaudaraan tetap terjaga kemurniannya. Kedua, secara fisik; demi kepentingan
keturunan. Dari pengalaman, banyak terjadi bahwa anak dari perkawinan
antarfamili/incest mengalami cacat fisik karena menurut hokum, senantiasa ada
unsur dari orangtua yang diturunkan kepada anak. Seoalnya adalah jika unsur
yang diturunkan itu cacat, dalam keturunan selanjutnya, sifat cacat ini akan
menjadi dominan. Ketiga, secara sosial;
demi kepentingan masyarakat pada umumnya, yakni supaya cinta kasih itu meluas
dan tidak terbatas hanya di sekitar keluarga sendiri.
c. Kanon
2073
Halangan yang
menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk
melangsungkan perkawinan secara sah[4].
Dalam kodeks yang lama dibedakan
antara halangan nikah yang menggagalkan (impedimentum
dirimens; kanon 1058-1066) dan yang sekedar melarang (impedimentum impediens; kanon 1067-1088). Impedimentum dirimens selalu membuat orang untuk tidak mampu
menikah secara sah (impedimentum ad
validitatem). Sedangkan impedimentum
impediens membuat pernikahan yang tetap sah itu menjadi tidak layak (impedimentum ad liceitatem). Setiap
halangan nikah selalu membuat perkawinan tidak sah. Menurut sifatnya, halangan
nikah dibedakan atas dua : Pertama, Halangan nikah kodrati, yaitu
yang muncul dari kodrat perkawinan itu sendiri dan karenanya mengikat semua
manusia tanpa kecuali. Ada empat halangan nikah kodrati yang tidak pernah dapat
diberikan dispensasi darinya, yaitu; halangan nikah usia sejauh menyangkut
kematangan fisik dan psikis (kan 1083), impotensi (kan 1084), ikatan nikah dan
hubungan darah garis lurus tingkat manapun dan garis menyamping tingkat II
(Kan.1091). Kedua, halangan nikah
Gerejawi[5].
Dalam
kasus ini, dapat dilihat bahwa Alfons dan Yohana terjerat dalam salah satu
halangan nikah kodrati karena memiliki hubungan darah garis lurus ke atas.
Hubungan darah yang sangat dekat antara keduanya menjadi factor yang
menggagalkan mereka untuk menikah secara sah (impedimentum dirimens).
d. Kanon 1078 §3:
Tidak
pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan
lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua[6].
Kanon ini menegaskan bahwa tidak
pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan
lurus tingkat manapun (dengan semua nenek moyang atau keturunan) atau dalam
garis keturunan menyamping tingkat kedua (dengan saudara kandung) karena
keduanya merupakan halangan nikah kodrati dan termasuk perkawinan incest. Dengan ini, sangat jelas bahwa
untuk perkara incest antara Alfons dan Yohana tidak pernah dapat diberikan
dispensasi untuk menikah secara sah.
e. Kanon 1137
Adalah legitim anak
yang dikandung dan dilahirkan dari perkawinan yang sah dan putatif[7].
Kanon ini berbicara tentang
legitimitas anak, yaitu status hukum yang dimiliki oleh anak, yang dalam
perkawinan yang sah atau putatif. Dengan status hukum ini, anak mempunyai hak
dan kewajiban yang sifatnya yuridis dalam forum publik. Pada umumnya anak
dikatakan “anak sah” apabila dilahirkan dari pasangan suami dan istri yang sah.
Kanon mengatakan bahwa anak adalah sah jika ia dikandung dan dilahirkan dari
perkawinan sah dan putatif. Tidak dihiraukan apakah dilahirkan dari pasangan
suami-istri yang sah atau tidak. Berdasarkan pernyataan dan penjelasan kanon
ini, dapat dilihat bahwa, keberadaan Us tetap sebagai seorang anak yang sah meskipun
Alfons dan Yohana sebagai orang tua biologisnya bukan merupakan pasangan
suami-istri yang sah secara hukum. Meskipun Us dilahirkan dari hubungan incest (tidak sah), tetapi dia tetap
sebagai seorang anak yang sah. Selanjutnya ditegaskan dalam kanon 1139 bahwa
anak yang tidak sah, disahkan dengan perkawinan orang tuanya yang menyusul
kemudian, baik perkawinan itu sah maupun putatif atau dengan reskrip dari
Takhta Suci[8].
Selanjutnya dalam hubungan dengan status anak, hukum sipil menegaskan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya[9].
f. Kanon 1139
Anak
yang tidak legitim dilegitimasi melalu perkawinan orangtuanya yang menyusul,
entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.[10]
Kanon ini berbicara tentang
legitimasi atau pengesahan anak yang lahir di luar pernikahan. Legitimasi
adalah perbuatan yuridis yang membuat sah, anak-anak yang selama ini tidak sah
karena dilahirkan di luar pernikahan. Dengan legitimasi ini, mereka mendapatkan
status hukum sebagai anak sah dengan segala akibat yuridisinya. Legitimasi anak
ini dapat dibuat dengan dua cara:
Pertama,
dengan atau melalui perkawinan yang menyusul; anak yang telah lahir, dengan
sendirinya menjadi anak sah dari perkawinan orangtuanya yang terjadi setelahnya
(per subsequens matrimonium parentum).
Dalam kasus ini, anak illigitim (Us) yang
lahir di luar nikah antara Alfons dan Yohana, disahkan atau dilegitimasi
seandainya nanti Yohana menikah dengan laki-laki lain dan bukan dengan Alfons
(ayah biologis Us). Kedua, dengan
reskrip dari Takhta Suci.
g. Kanon 1140
Mengenai
efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan
dengan anak-anak legitim kecuali dalam hokum secara jelas dinyatakan lain[11].
Kanon
ini menegaskan akibat-akibat yuridis yang muncul dari legitimasi ini, yakni
bahwa anak yang telah terlegitimasi mempunyai hak dan kewajiban yang sama,
seperti mereka yang lahir dari perkawinan sah kecuali hukum menentukan lain.
Itu berarti bahwa Us menjadi anak yang sah dan karena itu dia memiliki hak dan
kewajiban yang sama secara yuridis dengan anak-anak lainnya yang sah.
IV.
Kesimpulan
Hubungan
yang terjalin antara Alfons dan Yohana dalam kasus di atas merupakan sebuah
hubungan incest atau perkawinan
antara pria dan wanita yang memiliki hubungan darah. Dalam Kitab Hukum Kanonik
Gereja Katolik, hubungan jenis ini (incest)
tidak digolongkan sebagai hubungan perkawinan, baik yang sah maupun putatif,
tetapi lebih dilihat sebagai salah salah satu halangan yang menggagalkan
keduanya baik Alfons maupun Yohana untuk melangsungkan perkawinan secara sah. Tentang
perkara ini, Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa tidak pernah dibuat
dispensasi untuk mengangkat hubungan incest
ke martabat perkawinan Katolik. Perkawinan sah, hanya terjadi jika baik Alfons
maupun Yohana menikah dengan pasangan lain (yang tidak berhubungan darah dengan
mereka), dan setelah menyelesaikan permasalahan mereka secara yuridis.
Hasil
dari hubungan incest antara Alfons
dan Yohana telah melahirkan seorang Us, anak mereka. Secara publik, Us bisa
dilihat dan dianggap sebagai anak yang tidak sah atau dalam bahasa yang lebih
kasar disebut “anak haram”. Namun, Kitab Hukum Kanonik menilainya lain, bahwa
setiap anak yang dikandung dan dilahirkan baik dari perkawinan sah maupun
putatif, dianggap sah. Walaupun Us dilahirkan dari sebuah hubungan yang tidak
sah, namun keberadaannya bisa dilegitimasi dan menjadi sah, jika orangtuanya (ibunya
yang telah membesarkannya) menikah dengan laki-laki lain, bukan Alfons (ayah
biologisnya).
Langganan:
Postingan (Atom)