Sabtu, 19 April 2014

M. AZARIAH DAN TEOLOGI DALIT


M. AZARIAH 
DAN TEOLOGI DALIT
Dionisius Rangga


I.       Introduksi :
Teologi Dalit adalah cabang teologi Kristen yang membicarakan tema pembebasan terhadap sistem kasta di India. Teologi Dalit muncul sekitar tahun 1980 sebagai bentuk keprihatinan terhadap kemiskinan dan peminggiran yang dialami oleh kasta rendah di India. Salah satu tokoh penting yang menjadi pionir tologi Dalit adalah M. Azariah, seorang uskup di kota Madras.

II.    M. AZARIAH DAN TEOLOGI DALIT DI INDIA

2.1 Etimologi Dalit
Dalam bahasa Sansekarta Dalit berarti “Patah, diinjak-injak tertindas”. Entah ada hubungan atau tidak, kata Dalit  mirip dengan kata  Ibrani Dal yang juga berarti Patah atau Diinjak-injak. Dengan demikian, secara etimologi kaum Dalit adalah orang-orang yang patah atau tertindas. Orang-orang ini hidup dalam tekanan ekonomi dan social. Kaum Dalit biasanya bisanya bekerja sebagai sewaan oleh para tuan tanah. Mereka juga adalah orang-orang yang terlempar dari kasta. Secara ekonomi Kaum Dalit termasuk miskin, pekerjaan mereka menjadi budak dan memiliki penghasilan yang sangat rendah. Sedangkan secara politis, mereka tidak memiliki kuasa. Mereka juga merupakan kaum  minoritas yang tidak dapat bersosialisasi, bahkan penggunaan fasilitas-fasilitas umum, misalnya sumur dan kuil dilarang digunakan. Dari sisi keagamaan, kaum Dalit dikenal/dipandang sebagai kaum yang tercemar dalam ritus keagamaan.

2.2 Latar Belakang Teologi Dalit
Sistem kasta adalah suatu cara mengorganisasi masyarakat. Sebuah kasta bersifat turun-temurun. Kasta ini sekaligus mencerminkan pekerjaan seseorang. Di India terdapat empat kasta yaitu: Brahman (Imam/cendekiawan), Ksatria (prajurit/pejuang)Waisya (pedagang), dan Sudra (Pekerja/petani). Kaum Dalit adalah kelompok tersendiri yang tidak termasuk dalam keempat kasta ini. Mereka adalah orang-orang yang terbuang dalam kelompok masyarakat India. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai buruh dan pengemis.
Kemiskinan mrp salah satu pemicu lahirnya teologi Dalit di India. Kemiskinan di India terlihat pada penduduknya, di mana sebagian sangat kaya dan banyak sekali yang miskin. Situasi yang terjadi pada tahun 1944 yaitu India sedang mengalami kelaparan di mana-mana, terdapat perbedaan tajam antara kelompok sosial, di mana sekelompok kecil kaya sementara banyak yang miskin. Selain itu ditambah lagi karena adanya kemasabodohan di antara kelompok sosial, khususnya oleh mereka yang kaya terhadap mereka yang miskin. Berdasarkan sensus kepada masyarakat India tahun 1961dari 439 juta jiwa penduduk India, terdapat 64 juta jiwa yang  termasuk  dalam kelompok Dalit. Kemudian tahun 1971 tercatat 80 juta kaum Dalit dari total 548 juta penduduk India. Pada tahun 1981, hasil sensus di Tamil Nadu kaum Dalit mencapai lebih dari 18 %. Bahkan pada tahun 1991 sekitar 138 juta orang adalah kaum Dalit dari 846 juta total penduduk India.

2.3 Pemikiran Teologis Teologi Dalit
Pemikiran teologis Dalit terinspirasi oleh ideologi yang menyerukan pembebasan terhadap segala bentuk penindasan yang terdapat di seluruh dunia. Semangat pembebasan ini disesuaikan pada konteks India dengan ajakan untuk mencoba mengakui dan membangun kembali kehidupan komunitas yang  difokuskan pada kaum Dalit. Hal ini dikarenakan kaum Dalit dianggap sebagai orang-orang yang tak tersentuh dan orang yang tak terlihat. Masuknya kekristenan di India menyebabkan munculnya teologi Dalit.
Teologi Dalit juga merupakan refleksi yang timbul dari masyarakat di India karena adanya sistem kasta yang berlaku bagi siapa saja yang tinggal di India. Teologi Dalit menegaskan adanya hubungan dengan ‘pain – pathos  ' sebagai ranah berteologi yang mewakili kebudayaan dan keagamaan kaum Dalit. Selain itu, teologi Dalit juga dihubungkan dengan Yesus. Penderitaan komunitas kaum Dalit mempunyai persamaan dengan penderitaan yang dialami Yesus.
Beberapa orang mengatakan bahwa berteologi Dalit hanya dapat dilakukan oleh para Dalit itu sendiri yang telah mengalami penindasan. Namun, kita harus menyadari bahwa Allah berpihak kepada semua orang, baik kepada kaum Dalit atau bukan Dalit. “Kuasa dan kekuatan yang besar”dan “menggemparkan”menunjuk kepada keperluan kaum Dalit untuk berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Tujuannya adalah martabat manusia sebagai umat Allah yang setara (humanisme). Teologi Dalit juga bersifat doksologis. Bagi kaum Dalit yang menjadi Kristen dari agama Hindu merupakan pengalaman eksodus (keluaran)yang membebaskan. Pengalaman ini mengandung pengharapan eksodus dari para kaum Dalit untuk mendapatkan pembebasan sepenuhnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa kaum Dalit tidak akan dibebaskan jika sistem kasta sebagai penataan masyarakat tidak turut dirubah.

2. 4 Yesus dan Kaum Dalit di India
Karya Allah pada kebangkitan Yesus merupakan realitas eskatologis. Kebangkitan menunjukkan  bahwa Yesus berada dalam ruang dan waktu, bukan terpisah melainkan merupakan sebuah totalitas. Hal tersebut tidak hanya sebuah sejarah, melainkan sebagai bentuk keterlibatan secara penuh dan mendalam  antara zaman Yesus dengan masa manusia sekarang, karena tidak mungkin tercapai realitas eskatologis tanpa manusia ikut berproses di dalam sejarah. Pendekatan seperti ini dapat  dianalogikan terhadap Yesus dan kaum Dalit dengan melihat keterlibatan teologi dalam kehidupan nyata, partisipasinya dalam keprihatinan, serta impiannya untuk memperjuangkan kelompoknya.
Yesus dalam kehidupanNya juga memberikan perhatian kepada orang miskin dan tersiksa, para pendosa, orang asing, orang Samaria dll, yang dianggap sama dengan kaum Dalit. Yesus tidak menarik diri atau menolak  mereka, melainkan ikut serta dan menghabiskan banyak waktu pelayanan kepada mereka. Dalam Injil, Yesus menyebut kalangan ini dengan beberapa sebutan seperti: “Domba tanpa Gembala”(Mrk. 6:34) dan mengakui mereka sebagai “Saudara-saudaraKu”(Mrk. 3:34). Kemudian Yesus memperjelas ungkapan Saudara-saudaraKu dengan menggambarkan mereka sebagai orang yang kelaparan, kehausan, mereka yang tidak  berpakaian, orang yang tidak dikenal, orang yang sedang sakit (Mat.25:31-46). Menurut Yesus, kelompok seperti kaum Dalit merupakan target pelayanan di dunia dan termasuk obyek dari kematian Yesus di kayu salib. Yesus sebagai seorang Dalit menjadi pintu masuk menemukan formulasi teologi Dalit. Dalam beberapa konteks Yesus dilihat sebagai Pembebas. Teologi Pembebasan dalam komunitas Dalit menjadi sebuah harapan karena Allah yang ikut menderita. Sehingga rumusan teologi Dalit sama dengan teologi Pembebasan dan teologi Harapan.

III.        Catatan Kritis terhadap Pemikiran Teologi Dalit Berdasarkan Lima Kriteria yang Dicetuskan Robert Schreiter:

1.       Sebuah rumusan Teologi  harus memiliki konsistensi Internal:
Teologi Dalit lahir di India sebagai reaksi atas realitas ketidakadilan yang menimpa sebagian masyarakat India, yang menjelma dalam berbagai bentuk: kemiskinan, penindasan, keterasingan. Sistem kasta di India dinilai dan dituduh sebagai salah satu penyebab keberadaan dan ketermarginalan kaum Dalit. Teologi Dalit dicetuskan untuk memperjuangkan HAM dan martabat kaum Dalit yang tidak mendapat tempat yang layak dalam kelas sosial masyarakat India. Situasi ketermarginalan kaum Dalit tentu bersebrangan dengan prinsip kemanusiaan yang benar dan terutama dan pandangan Kristen bertentangan dengan nilai-nilain Kerejaan Allah yang diwartakan Yesus dan ingin dicapai manusia. M. Azariah mencetuskan rumusan teologi Dalit-nya dengan bertolak dari figur Yesus sendiri. Yesus dengan M. Azariah  memang hidup di dua zaman yang berbeda, namun keduanya justru “berpapasan” pada sebuah konteks yang hampir sama yaitu situasi  ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterasingan yang menimpa  orang-orang kecil dan miskin. Karena itu, bisa dilihat bahwa teologi Dalit mengusung misi Kerajaan Allah bagi masyarakat kecil dan miskin di India sebagai sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh Yesus dahulu. Situasi Kerajaan Allah hanya mungkin dialami kalau kaum Dalit di India sungguh-sungguh bebas dari realitas penindasan dan kemiskinan. 

2.      Sebuah ungkapan yang benar tentang Teologi Kontekstual mesti bisa diterjemahkan ke dalam ulah kebaktian. Prinsip dasarnya adalah Lex Orandi, Lex Credendi (Cara kita berdoa mengacu pada cara kita beriman, dan sebaliknya)
Apakah teologi Dalit sungguh relevan dengan situasi social religius masyarakat India yang juga dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu?. Sejauh yang saya pelajari dan ketahui bahwa tradisi Hindu menekankan kebahagiaan adalah hidup dalam kekinian yang bisa dicapai melalui meditasi/yoga yang mereka lakukan. Jadi bisa dilihat bahwa situasi social ekonomis tidak selalu menjadi jaminan bagi kebahagiaan manusia. Jika teologi Dalit ini hanya diarahkan kepada kaum Dalit Kristen maka teologi Dalit saya nilai tepat sasar. Akan tetapi, jika kepada seluruh masyarakat India (termasuk orang Hindu di dalamnya) maka, teologi Dalit akan mengalami hambatan dengan  kaum Dalit Hindu yang memiliki sudut pandang yang berbeda tentang kemiskinan, kebahagiaan, kebebasan.

3.      Kriteria Ortopraksis: “Dari buahnyalah kamu akan  mengenal Mereka”(Mat. 7:16)
Orientasi dasar teologi Dalit adalah kaum Dalit dan situasi yang mereka  hadapi dengan sistem kasta yang berlaku di India. Kelihatannya bahwa teologi Dalit sangat netral dalam tujuaannya, dalam arti dicetuskan oleh orang Katolik tetapi dengan tujuan untuk orang-orang miskin di seluruh India(bukan hanya orang Katolik yang miskin). Dan juga teologi ini berusaha untuk melawan system kasta bukan hanya kepada salah satu kasta tertentu.

4.      Sebuah Teologi harus terbuka terhadap pendapat-pendapat lain:
Teologi Dalit sudah cukup terbuka terhadap pendapat-pendapat lain yang menyangsikannya misalnya ada pendapat bahwa teologi Dalit hanya bisa dilakukan oleh kaum Dalit itu sendiri yang mengalami penindasan. Namun, kritikan atau pendapat seperti itu tidak membatalkan atau menyurutkan semangat juang teologi Dalit. Teologi Dalit memiliki argumennya sendiri berhadapan dengan perbedaan pendapat seperti ini. Menurut teologi Dalit kita harus menyadari bahwa Allah berpihak kepada semua orang, baik kepada kaum Dalit atau bukan Dalit. “Kuasa dan kekuatan yang besar”dan “menggemparkan”menunjuk kepada keperluan kaum Dalit untuk berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Tujuannya adalah martabat manusia sebagai umat Allah yang setara (humanisme).

5.      Sebuah Teologi harus memiliki kekuatan untuk menantang teologi-teologi lain.
Saya menilai teologi Dalit mengusung misi yang sungguh mulia yakni memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah bagi kaum Dalit di India yakni kebebasan, kebahagiaan, mendapatkan pengakuan atas keberadaan mereka dan mendapatkan perlakuan yang layak sebagai manusia yang bermartabat. Namun, nilai-nilai Kerajaan Allah itu masih terkukung dan dibelenggu kuat oleh sistem kasta yang sangat kental. Untuk menyingkapkan nilai-nilai itu maka hal pertama yang harus dibongkar adalah “si tukan belenggu” itu sendiri yaitu sistem kasta yang sudah mendarah daging dalam diri orang-orang India. Dengan demikian, dapat  dilihat bahwa teologi Dalit sebenarnya berhadapan dengan sebuah benteng yang sungguh kuat dan kokoh yang akan menghadang usahanya untuk mewujudkan misinya secara penuh. Apakah teologi Dalit mungkin??


Sumber-sumber:
Internet
Michael Alamadoss . Teologi Pembebasan Asia. p. 40-42, 47-50, 50-53
A.Yewangoe. Theologia Cruicis Di Asia. p. 38-39, 69-76, 84-90. 
Douglas J. Elwood. Teologi Kristen Asia. p. 106-107, 112

INCEST DARI PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK


MENILAI PERKARA INCEST
(PERKAWINAN HUBUNGAN SEDARAH)
DARI PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK
 Dionisius Rangga

I.     Pendahuluan
Dari sekian banyak masalah asusila yang terjadi di antara umat manusia dan juga umat beragama (Katolik) dari dulu hingga dewasa ini, masalah insest atau perkawinan hubungan sedarah merupakan salah satu masalah yang cukup memprihatinkan dunia dan juga Gereja. Gereja Katolik memiliki pandangan tersendiri terhadap masalah ini. Karena itu, penulis memilih dan mengangkat masalah “Incest” sebagai topik yang akan dibahas dan dikupas serta dianalisis dalam tulisan ini dari perspektif  Hukum Kanonik Gereja Katolik.

II.  Kronologi Kasus
Pada sekitar tahun 2000 di sebuah kampung seorang wanita lajang berumur 30 tahun atas nama Yohana melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian anak itu diberi nama Us. Peristiwa kelahiran itu sempat menimbulkan pertanyaan dan kebingungan banyak orang termasuk anggota kelurganya perihal siapakah ayah dari anak itu. Segenap anggota keluarga dan seluruh warga kampung cukup terkejut setelah mendengar pengakuan Yohana bahwa laki-laki yang telah menghamilinya adalah Alfons yang adalah saudara sepupu kandungnya sendiri (bapak kakak adik kandung). Saudaranya yang telah menghamilinya itu sejak beberapa bulan sebelumnya sudah menghilang dari rumah dan kampung entah ke mana setelah mengetahui dirinya telah mengandung dari hubungan terlarang mereka. Us dilahirkan dan dibesarkan oleh Yohana dengan keluarga yang lain. Dari kasus ini timbul sejumlah pertanyaan: Bagaimana dengan keberadaan dan status hukum Us sebagai anak yang lahir dari hubungan incest? Apakah nanti baik Alfons maupun Yohana bisa atau diperkenankan untuk menerima dan diterimakan sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik, termasuk sakramen perkawinan yang sah dengan pasangan mereka masing-masing? Melalui tulisan ini, penulis ingin menjelaskan persoalan/kasus dan pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan perspektif  Hukum Kanonik Gereja Katolik.


III.   Analisa dan Penilaian atas Kasus dari Perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan incest tidak dilihat atau digolongkan sebagai salah satu jenis hubungan perkawinan baik sah maupun putatif, tetapi dilihat sebagai salah satu halangan bagi sebuah perkawinan yang sah, yaitu karena memiliki hubungan darah (consanguinitas). Dalam hubungan dengan kasus di atas, beberapa nomor hukum kanon memberikan penjelasan khusus terhadap permasalahan yang dialami oleh Yohana, Alfons dan Us.

a.    Kanon 1058:
Semua orang dapat melakukan perkawinan sejauh tidak dilarang hukum[1].

Kanon ini menjelaskan bahwa semua orang memang mempunyai hak kodrati untuk menikah, namun hanya mereka yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah dengan sah. Berdasarkan pernyataan nomor kanon ini, tampak jelas bahwa hubungan Alfons dan Yohana tidak dapat diresmikan/disahkan dalam perkawinan Katolik, karena pada bagian lain dari hukum kanonik ini, melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan darah dekat. Namun demikian, larangan dan halangan nikah ini tidak bertujuan untuk menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, namun untuk mengatur pelaksanaannya. Itu berarti bahwa hak kodrati Yohana maupun Alfons untuk menikah tidak dihapus. Baik Yohana maupun Alfons tetap boleh menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Dan pernikahan itu dianggap sah hanya jika permasalahan keduanya telah diselesaikan baik secara Gereja maupun secara hukum adat. Selain itu, harus ada keterbukaan dan kejujuran dari keduanya terhadap pasangan mereka masing-masing tentang masalah hubungan mereka sebelumnya dan juga tentang keberadaan Us anak mereka. Keterbukaan dan kejujuran ini penting untuk menghindari terjadinya masalah penipuan yang bisa menggagalkan sahnya perkawinan mereka (baik Alfons maupun Yohana dengan pasangan mereka masing-masing), jika permasalahan hubungan keduanya sebelumnya itu diketahui dan dipersoalkan setelah mereka menikah dengan pasangan mereka masing-masing.
Karena larangan dan halangan ini sifatnya membatasi hak kodrati untuk menikah, perlu ada alasan-alasan yang wajar untuk melindungi, baik pribadi yang bersangkutan maupun institusi perkawinan itu sendiri. Pertama, Agar yang bersangkutan dapat menikah dan menghidupi perkawinan sesuai dengan paham dan ajaran Gereja Katolik. Kedua, Untuk mencapai nilai-nilai dan tujuan tertentu perkawinan hanya dapat dilangsungkan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga, Demi kepentingan umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat karena bagaimanapun perkawinan sekaligus bersifat personal dan sosial.[2]

b.   Kanon 1091:
§1: Tidak sahlah perkawinan antara mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang alami[3]

Lebih lanjut, ditegaskan bahwa cakupan dalam garis lurus tidak ada batasnya, sedangkan dalam garis menyamping, halangan hanya sampai dengan tingkat keempat. Halangan nikah hubungan darah ini ada yang bersifat kodrati dan ada pula yang bersifat Gerejawi. Menurut kanon ini, hubungan darah garis lurus ke atas dank e bawah dalam semua tingkat dan hubungan darah garis menyamping tingkat kedua adalah hokum kodrati. Karenanya, menurut Gereja, dari halangan ini tidak mungkin diminta dispensasi. Sementara itu, halangan nikah hubungan darah garis menyamping tingkat III dan IV merupakan hukum Gerejawi, karena itu dalam keadaan tertentu dapat didispensasi. Berdasarkan pernyataan kanon di atas, menjadi jelas bahwa hubungan antara Alfons dan Yohana dalam kasus ini merupakan hubungan terlarang dan tidak sah serta tidak bisa diangkat ke martabat perkawinan Katolik karena keduanya memiliki hubungan darah consanguinitas legitima atau hubungan darah yang muncul dari sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran Us dari hubungan mereka ini tidak dapat menjadi alasan bagi mereka untuk hidup sebagai pasangan suami istri yang disahkan oleh sakramen perkawinan Katolik.
Gereja mengetengahkan adanya halangan nikah hubungan darah ini dengan beberapa tujuan, antara lain; Pertama, secara moral; untuk melindungi kepentingan keluarga atau demi cinta kasih antaranggota keluarga sendiri. konkretnya, agar cinta kasih persaudaraan tetap terjaga kemurniannya. Kedua, secara fisik; demi kepentingan keturunan. Dari pengalaman, banyak terjadi bahwa anak dari perkawinan antarfamili/incest mengalami cacat fisik karena menurut hokum, senantiasa ada unsur dari orangtua yang diturunkan kepada anak. Seoalnya adalah jika unsur yang diturunkan itu cacat, dalam keturunan selanjutnya, sifat cacat ini akan menjadi dominan. Ketiga, secara sosial; demi kepentingan masyarakat pada umumnya, yakni supaya cinta kasih itu meluas dan tidak terbatas hanya di sekitar keluarga sendiri.

c.                Kanon 2073
Halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah[4].

Dalam kodeks yang lama dibedakan antara halangan nikah yang menggagalkan (impedimentum dirimens; kanon 1058-1066) dan yang sekedar melarang (impedimentum impediens; kanon 1067-1088). Impedimentum dirimens selalu membuat orang untuk tidak mampu menikah secara sah (impedimentum ad validitatem). Sedangkan impedimentum impediens membuat pernikahan yang tetap sah itu menjadi tidak layak (impedimentum ad liceitatem). Setiap halangan nikah selalu membuat perkawinan tidak sah. Menurut sifatnya, halangan nikah dibedakan atas  dua : Pertama, Halangan nikah kodrati, yaitu yang muncul dari kodrat perkawinan itu sendiri dan karenanya mengikat semua manusia tanpa kecuali. Ada empat halangan nikah kodrati yang tidak pernah dapat diberikan dispensasi darinya, yaitu; halangan nikah usia sejauh menyangkut kematangan fisik dan psikis (kan 1083), impotensi (kan 1084), ikatan nikah dan hubungan darah garis lurus tingkat manapun dan garis menyamping tingkat II (Kan.1091). Kedua, halangan nikah Gerejawi[5].
Dalam kasus ini, dapat dilihat bahwa Alfons dan Yohana terjerat dalam salah satu halangan nikah kodrati karena memiliki hubungan darah garis lurus ke atas. Hubungan darah yang sangat dekat antara keduanya menjadi factor yang menggagalkan mereka untuk menikah secara sah (impedimentum dirimens).

d.   Kanon 1078  §3:
Tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua[6].

Kanon ini menegaskan bahwa tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus tingkat manapun (dengan semua nenek moyang atau keturunan) atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua (dengan saudara kandung) karena keduanya merupakan halangan nikah kodrati dan termasuk perkawinan incest. Dengan ini, sangat jelas bahwa untuk perkara incest antara Alfons dan Yohana tidak pernah dapat diberikan dispensasi untuk menikah secara sah.

e.    Kanon 1137
Adalah legitim anak yang dikandung dan dilahirkan dari perkawinan yang sah dan putatif[7].

Kanon ini berbicara tentang legitimitas anak, yaitu status hukum yang dimiliki oleh anak, yang   dalam perkawinan yang sah atau putatif. Dengan status hukum ini, anak mempunyai hak dan kewajiban yang sifatnya yuridis dalam forum publik. Pada umumnya anak dikatakan “anak sah” apabila dilahirkan dari pasangan suami dan istri yang sah. Kanon mengatakan bahwa anak adalah sah jika ia dikandung dan dilahirkan dari perkawinan sah dan putatif. Tidak dihiraukan apakah dilahirkan dari pasangan suami-istri yang sah atau tidak. Berdasarkan pernyataan dan penjelasan kanon ini, dapat dilihat bahwa, keberadaan Us tetap sebagai seorang anak yang sah meskipun Alfons dan Yohana sebagai orang tua biologisnya bukan merupakan pasangan suami-istri yang sah secara hukum. Meskipun Us dilahirkan dari hubungan incest (tidak sah), tetapi dia tetap sebagai seorang anak yang sah. Selanjutnya ditegaskan dalam kanon 1139 bahwa anak yang tidak sah, disahkan dengan perkawinan orang tuanya yang menyusul kemudian, baik perkawinan itu sah maupun putatif atau dengan reskrip dari Takhta Suci[8]. Selanjutnya dalam hubungan dengan status anak, hukum sipil menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya[9].

f.     Kanon 1139
Anak yang tidak legitim dilegitimasi melalu perkawinan orangtuanya yang menyusul, entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.[10]

Kanon ini berbicara tentang legitimasi atau pengesahan anak yang lahir di luar pernikahan. Legitimasi adalah perbuatan yuridis yang membuat sah, anak-anak yang selama ini tidak sah karena dilahirkan di luar pernikahan. Dengan legitimasi ini, mereka mendapatkan status hukum sebagai anak sah dengan segala akibat yuridisinya. Legitimasi anak ini dapat dibuat dengan dua cara:
Pertama, dengan atau melalui perkawinan yang menyusul; anak yang telah lahir, dengan sendirinya menjadi anak sah dari perkawinan orangtuanya yang terjadi setelahnya (per subsequens matrimonium parentum). Dalam kasus ini, anak illigitim (Us) yang lahir di luar nikah antara Alfons dan Yohana, disahkan atau dilegitimasi seandainya nanti Yohana menikah dengan laki-laki lain dan bukan dengan Alfons (ayah biologis Us). Kedua, dengan reskrip dari Takhta Suci.

g.    Kanon 1140
Mengenai efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan dengan anak-anak legitim kecuali dalam hokum secara jelas dinyatakan lain[11].

Kanon ini menegaskan akibat-akibat yuridis yang muncul dari legitimasi ini, yakni bahwa anak yang telah terlegitimasi mempunyai hak dan kewajiban yang sama, seperti mereka yang lahir dari perkawinan sah kecuali hukum menentukan lain. Itu berarti bahwa Us menjadi anak yang sah dan karena itu dia memiliki hak dan kewajiban yang sama secara yuridis dengan anak-anak lainnya yang sah.


IV.             Kesimpulan
Hubungan yang terjalin antara Alfons dan Yohana dalam kasus di atas merupakan sebuah hubungan incest atau perkawinan antara pria dan wanita yang memiliki hubungan darah. Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan jenis ini (incest) tidak digolongkan sebagai hubungan perkawinan, baik yang sah maupun putatif, tetapi lebih dilihat sebagai salah salah satu halangan yang menggagalkan keduanya baik Alfons maupun Yohana untuk melangsungkan perkawinan secara sah. Tentang perkara ini, Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa tidak pernah dibuat dispensasi untuk mengangkat hubungan incest ke martabat perkawinan Katolik. Perkawinan sah, hanya terjadi jika baik Alfons maupun Yohana menikah dengan pasangan lain (yang tidak berhubungan darah dengan mereka), dan setelah menyelesaikan permasalahan mereka secara yuridis.
Hasil dari hubungan incest antara Alfons dan Yohana telah melahirkan seorang Us, anak mereka. Secara publik, Us bisa dilihat dan dianggap sebagai anak yang tidak sah atau dalam bahasa yang lebih kasar disebut “anak haram”. Namun, Kitab Hukum Kanonik menilainya lain, bahwa setiap anak yang dikandung dan dilahirkan baik dari perkawinan sah maupun putatif, dianggap sah. Walaupun Us dilahirkan dari sebuah hubungan yang tidak sah, namun keberadaannya bisa dilegitimasi dan menjadi sah, jika orangtuanya (ibunya yang telah membesarkannya) menikah dengan laki-laki lain, bukan Alfons (ayah biologisnya).


       [1] R.D.R. Rubiyatmoko (Ed.), Kitab Hukum Kanonik  (Jakarta: KWI, 2006), p.287.
       [2] Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.57
      [3] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p.311
      [4] Ibid., p. 290.
                [5] Robertus Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 58.
                 [6] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 291.
                 [7] Ibid, p.322
       [8] ibid.
       [9] Undang-Undang Perkawinan (Bogor: Politeia, 1984), p. 15.
       [10] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 303.
        [11] Ibid.