MENILAI
PERKARA INCEST
(PERKAWINAN
HUBUNGAN SEDARAH)
DARI
PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK
Dionisius Rangga
I. Pendahuluan
Dari sekian banyak masalah asusila
yang terjadi di antara umat manusia dan juga umat beragama (Katolik) dari dulu
hingga dewasa ini, masalah insest atau perkawinan hubungan sedarah merupakan
salah satu masalah yang cukup memprihatinkan dunia dan juga Gereja. Gereja
Katolik memiliki pandangan tersendiri terhadap masalah ini. Karena itu, penulis
memilih dan mengangkat masalah “Incest”
sebagai topik yang akan dibahas dan dikupas serta dianalisis dalam tulisan ini
dari perspektif Hukum Kanonik Gereja
Katolik.
II. Kronologi Kasus
Pada sekitar tahun 2000 di sebuah
kampung seorang wanita lajang berumur 30 tahun atas nama Yohana melahirkan
seorang anak laki-laki yang kemudian anak itu diberi nama Us. Peristiwa
kelahiran itu sempat menimbulkan pertanyaan dan kebingungan banyak orang
termasuk anggota kelurganya perihal siapakah ayah dari anak itu. Segenap
anggota keluarga dan seluruh warga kampung cukup terkejut setelah mendengar
pengakuan Yohana bahwa laki-laki yang telah menghamilinya adalah Alfons yang
adalah saudara sepupu kandungnya sendiri (bapak kakak adik kandung). Saudaranya
yang telah menghamilinya itu sejak beberapa bulan sebelumnya sudah menghilang
dari rumah dan kampung entah ke mana setelah mengetahui dirinya telah
mengandung dari hubungan terlarang mereka. Us dilahirkan dan dibesarkan oleh Yohana
dengan keluarga yang lain. Dari kasus ini timbul sejumlah pertanyaan: Bagaimana
dengan keberadaan dan status hukum Us sebagai anak yang lahir dari hubungan
incest? Apakah nanti baik Alfons maupun Yohana bisa atau diperkenankan untuk
menerima dan diterimakan sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik, termasuk
sakramen perkawinan yang sah dengan pasangan mereka masing-masing? Melalui
tulisan ini, penulis ingin menjelaskan persoalan/kasus dan
pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik.
III. Analisa dan Penilaian atas Kasus
dari Perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik
Dalam
Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan incest tidak dilihat atau digolongkan sebagai salah satu jenis
hubungan perkawinan baik sah maupun putatif, tetapi dilihat sebagai salah satu
halangan bagi sebuah perkawinan yang sah, yaitu karena memiliki hubungan darah
(consanguinitas). Dalam hubungan
dengan kasus di atas, beberapa nomor hukum kanon memberikan penjelasan khusus
terhadap permasalahan yang dialami oleh Yohana, Alfons dan Us.
a. Kanon 1058:
Semua orang
dapat melakukan perkawinan sejauh tidak dilarang hukum[1].
Kanon ini menjelaskan bahwa semua
orang memang mempunyai hak kodrati untuk menikah, namun hanya mereka yang tidak
dilarang oleh hukum dapat menikah dengan sah. Berdasarkan pernyataan nomor
kanon ini, tampak jelas bahwa hubungan Alfons dan Yohana tidak dapat
diresmikan/disahkan dalam perkawinan Katolik, karena pada bagian lain dari
hukum kanonik ini, melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki
hubungan darah dekat. Namun demikian, larangan dan halangan nikah ini tidak
bertujuan untuk menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, namun untuk
mengatur pelaksanaannya. Itu berarti bahwa hak kodrati Yohana maupun Alfons
untuk menikah tidak dihapus. Baik Yohana maupun Alfons tetap boleh menikah
dengan pasangan mereka masing-masing. Dan pernikahan itu dianggap sah hanya
jika permasalahan keduanya telah diselesaikan baik secara Gereja maupun secara
hukum adat. Selain itu, harus ada keterbukaan dan kejujuran dari keduanya
terhadap pasangan mereka masing-masing tentang masalah hubungan mereka
sebelumnya dan juga tentang keberadaan Us anak mereka. Keterbukaan dan
kejujuran ini penting untuk menghindari terjadinya masalah penipuan yang bisa
menggagalkan sahnya perkawinan mereka (baik Alfons maupun Yohana dengan
pasangan mereka masing-masing), jika permasalahan hubungan keduanya sebelumnya
itu diketahui dan dipersoalkan setelah mereka menikah dengan pasangan mereka
masing-masing.
Karena larangan dan halangan ini
sifatnya membatasi hak kodrati untuk menikah, perlu ada alasan-alasan yang
wajar untuk melindungi, baik pribadi yang bersangkutan maupun institusi
perkawinan itu sendiri. Pertama, Agar
yang bersangkutan dapat menikah dan menghidupi perkawinan sesuai dengan paham
dan ajaran Gereja Katolik. Kedua, Untuk
mencapai nilai-nilai dan tujuan tertentu perkawinan hanya dapat dilangsungkan
setelah memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga,
Demi kepentingan umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat karena bagaimanapun
perkawinan sekaligus bersifat personal dan sosial.[2]
b. Kanon 1091:
§1:
Tidak sahlah perkawinan antara mereka yang berhubungan darah dalam garis
keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang alami[3]
Lebih lanjut, ditegaskan bahwa
cakupan dalam garis lurus tidak ada batasnya, sedangkan dalam garis menyamping,
halangan hanya sampai dengan tingkat keempat. Halangan nikah hubungan darah ini
ada yang bersifat kodrati dan ada pula yang bersifat Gerejawi. Menurut kanon
ini, hubungan darah garis lurus ke atas dank e bawah dalam semua tingkat dan
hubungan darah garis menyamping tingkat kedua adalah hokum kodrati. Karenanya,
menurut Gereja, dari halangan ini tidak mungkin diminta dispensasi. Sementara
itu, halangan nikah hubungan darah garis menyamping tingkat III dan IV
merupakan hukum Gerejawi, karena itu dalam keadaan tertentu dapat didispensasi.
Berdasarkan pernyataan kanon di atas, menjadi jelas bahwa hubungan antara Alfons
dan Yohana dalam kasus ini merupakan hubungan terlarang dan tidak sah serta
tidak bisa diangkat ke martabat perkawinan Katolik karena keduanya memiliki
hubungan darah consanguinitas legitima
atau hubungan darah yang muncul dari sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran Us
dari hubungan mereka ini tidak dapat menjadi alasan bagi mereka untuk hidup
sebagai pasangan suami istri yang disahkan oleh sakramen perkawinan Katolik.
Gereja mengetengahkan adanya
halangan nikah hubungan darah ini dengan beberapa tujuan, antara lain; Pertama, secara moral; untuk melindungi
kepentingan keluarga atau demi cinta kasih antaranggota keluarga sendiri.
konkretnya, agar cinta kasih persaudaraan tetap terjaga kemurniannya. Kedua, secara fisik; demi kepentingan
keturunan. Dari pengalaman, banyak terjadi bahwa anak dari perkawinan
antarfamili/incest mengalami cacat fisik karena menurut hokum, senantiasa ada
unsur dari orangtua yang diturunkan kepada anak. Seoalnya adalah jika unsur
yang diturunkan itu cacat, dalam keturunan selanjutnya, sifat cacat ini akan
menjadi dominan. Ketiga, secara sosial;
demi kepentingan masyarakat pada umumnya, yakni supaya cinta kasih itu meluas
dan tidak terbatas hanya di sekitar keluarga sendiri.
c. Kanon
2073
Halangan yang
menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk
melangsungkan perkawinan secara sah[4].
Dalam kodeks yang lama dibedakan
antara halangan nikah yang menggagalkan (impedimentum
dirimens; kanon 1058-1066) dan yang sekedar melarang (impedimentum impediens; kanon 1067-1088). Impedimentum dirimens selalu membuat orang untuk tidak mampu
menikah secara sah (impedimentum ad
validitatem). Sedangkan impedimentum
impediens membuat pernikahan yang tetap sah itu menjadi tidak layak (impedimentum ad liceitatem). Setiap
halangan nikah selalu membuat perkawinan tidak sah. Menurut sifatnya, halangan
nikah dibedakan atas dua : Pertama, Halangan nikah kodrati, yaitu
yang muncul dari kodrat perkawinan itu sendiri dan karenanya mengikat semua
manusia tanpa kecuali. Ada empat halangan nikah kodrati yang tidak pernah dapat
diberikan dispensasi darinya, yaitu; halangan nikah usia sejauh menyangkut
kematangan fisik dan psikis (kan 1083), impotensi (kan 1084), ikatan nikah dan
hubungan darah garis lurus tingkat manapun dan garis menyamping tingkat II
(Kan.1091). Kedua, halangan nikah
Gerejawi[5].
Dalam
kasus ini, dapat dilihat bahwa Alfons dan Yohana terjerat dalam salah satu
halangan nikah kodrati karena memiliki hubungan darah garis lurus ke atas.
Hubungan darah yang sangat dekat antara keduanya menjadi factor yang
menggagalkan mereka untuk menikah secara sah (impedimentum dirimens).
d. Kanon 1078 §3:
Tidak
pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan
lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua[6].
Kanon ini menegaskan bahwa tidak
pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan
lurus tingkat manapun (dengan semua nenek moyang atau keturunan) atau dalam
garis keturunan menyamping tingkat kedua (dengan saudara kandung) karena
keduanya merupakan halangan nikah kodrati dan termasuk perkawinan incest. Dengan ini, sangat jelas bahwa
untuk perkara incest antara Alfons dan Yohana tidak pernah dapat diberikan
dispensasi untuk menikah secara sah.
e. Kanon 1137
Adalah legitim anak
yang dikandung dan dilahirkan dari perkawinan yang sah dan putatif[7].
Kanon ini berbicara tentang
legitimitas anak, yaitu status hukum yang dimiliki oleh anak, yang dalam
perkawinan yang sah atau putatif. Dengan status hukum ini, anak mempunyai hak
dan kewajiban yang sifatnya yuridis dalam forum publik. Pada umumnya anak
dikatakan “anak sah” apabila dilahirkan dari pasangan suami dan istri yang sah.
Kanon mengatakan bahwa anak adalah sah jika ia dikandung dan dilahirkan dari
perkawinan sah dan putatif. Tidak dihiraukan apakah dilahirkan dari pasangan
suami-istri yang sah atau tidak. Berdasarkan pernyataan dan penjelasan kanon
ini, dapat dilihat bahwa, keberadaan Us tetap sebagai seorang anak yang sah meskipun
Alfons dan Yohana sebagai orang tua biologisnya bukan merupakan pasangan
suami-istri yang sah secara hukum. Meskipun Us dilahirkan dari hubungan incest (tidak sah), tetapi dia tetap
sebagai seorang anak yang sah. Selanjutnya ditegaskan dalam kanon 1139 bahwa
anak yang tidak sah, disahkan dengan perkawinan orang tuanya yang menyusul
kemudian, baik perkawinan itu sah maupun putatif atau dengan reskrip dari
Takhta Suci[8].
Selanjutnya dalam hubungan dengan status anak, hukum sipil menegaskan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya[9].
f. Kanon 1139
Anak
yang tidak legitim dilegitimasi melalu perkawinan orangtuanya yang menyusul,
entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.[10]
Kanon ini berbicara tentang
legitimasi atau pengesahan anak yang lahir di luar pernikahan. Legitimasi
adalah perbuatan yuridis yang membuat sah, anak-anak yang selama ini tidak sah
karena dilahirkan di luar pernikahan. Dengan legitimasi ini, mereka mendapatkan
status hukum sebagai anak sah dengan segala akibat yuridisinya. Legitimasi anak
ini dapat dibuat dengan dua cara:
Pertama,
dengan atau melalui perkawinan yang menyusul; anak yang telah lahir, dengan
sendirinya menjadi anak sah dari perkawinan orangtuanya yang terjadi setelahnya
(per subsequens matrimonium parentum).
Dalam kasus ini, anak illigitim (Us) yang
lahir di luar nikah antara Alfons dan Yohana, disahkan atau dilegitimasi
seandainya nanti Yohana menikah dengan laki-laki lain dan bukan dengan Alfons
(ayah biologis Us). Kedua, dengan
reskrip dari Takhta Suci.
g. Kanon 1140
Mengenai
efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan
dengan anak-anak legitim kecuali dalam hokum secara jelas dinyatakan lain[11].
Kanon
ini menegaskan akibat-akibat yuridis yang muncul dari legitimasi ini, yakni
bahwa anak yang telah terlegitimasi mempunyai hak dan kewajiban yang sama,
seperti mereka yang lahir dari perkawinan sah kecuali hukum menentukan lain.
Itu berarti bahwa Us menjadi anak yang sah dan karena itu dia memiliki hak dan
kewajiban yang sama secara yuridis dengan anak-anak lainnya yang sah.
IV.
Kesimpulan
Hubungan
yang terjalin antara Alfons dan Yohana dalam kasus di atas merupakan sebuah
hubungan incest atau perkawinan
antara pria dan wanita yang memiliki hubungan darah. Dalam Kitab Hukum Kanonik
Gereja Katolik, hubungan jenis ini (incest)
tidak digolongkan sebagai hubungan perkawinan, baik yang sah maupun putatif,
tetapi lebih dilihat sebagai salah salah satu halangan yang menggagalkan
keduanya baik Alfons maupun Yohana untuk melangsungkan perkawinan secara sah. Tentang
perkara ini, Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa tidak pernah dibuat
dispensasi untuk mengangkat hubungan incest
ke martabat perkawinan Katolik. Perkawinan sah, hanya terjadi jika baik Alfons
maupun Yohana menikah dengan pasangan lain (yang tidak berhubungan darah dengan
mereka), dan setelah menyelesaikan permasalahan mereka secara yuridis.
Hasil
dari hubungan incest antara Alfons
dan Yohana telah melahirkan seorang Us, anak mereka. Secara publik, Us bisa
dilihat dan dianggap sebagai anak yang tidak sah atau dalam bahasa yang lebih
kasar disebut “anak haram”. Namun, Kitab Hukum Kanonik menilainya lain, bahwa
setiap anak yang dikandung dan dilahirkan baik dari perkawinan sah maupun
putatif, dianggap sah. Walaupun Us dilahirkan dari sebuah hubungan yang tidak
sah, namun keberadaannya bisa dilegitimasi dan menjadi sah, jika orangtuanya (ibunya
yang telah membesarkannya) menikah dengan laki-laki lain, bukan Alfons (ayah
biologisnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar