Sabtu, 19 April 2014

INCEST DARI PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK


MENILAI PERKARA INCEST
(PERKAWINAN HUBUNGAN SEDARAH)
DARI PERSPEKTIF HUKUM KANONIK GEREJA KATOLIK
 Dionisius Rangga

I.     Pendahuluan
Dari sekian banyak masalah asusila yang terjadi di antara umat manusia dan juga umat beragama (Katolik) dari dulu hingga dewasa ini, masalah insest atau perkawinan hubungan sedarah merupakan salah satu masalah yang cukup memprihatinkan dunia dan juga Gereja. Gereja Katolik memiliki pandangan tersendiri terhadap masalah ini. Karena itu, penulis memilih dan mengangkat masalah “Incest” sebagai topik yang akan dibahas dan dikupas serta dianalisis dalam tulisan ini dari perspektif  Hukum Kanonik Gereja Katolik.

II.  Kronologi Kasus
Pada sekitar tahun 2000 di sebuah kampung seorang wanita lajang berumur 30 tahun atas nama Yohana melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian anak itu diberi nama Us. Peristiwa kelahiran itu sempat menimbulkan pertanyaan dan kebingungan banyak orang termasuk anggota kelurganya perihal siapakah ayah dari anak itu. Segenap anggota keluarga dan seluruh warga kampung cukup terkejut setelah mendengar pengakuan Yohana bahwa laki-laki yang telah menghamilinya adalah Alfons yang adalah saudara sepupu kandungnya sendiri (bapak kakak adik kandung). Saudaranya yang telah menghamilinya itu sejak beberapa bulan sebelumnya sudah menghilang dari rumah dan kampung entah ke mana setelah mengetahui dirinya telah mengandung dari hubungan terlarang mereka. Us dilahirkan dan dibesarkan oleh Yohana dengan keluarga yang lain. Dari kasus ini timbul sejumlah pertanyaan: Bagaimana dengan keberadaan dan status hukum Us sebagai anak yang lahir dari hubungan incest? Apakah nanti baik Alfons maupun Yohana bisa atau diperkenankan untuk menerima dan diterimakan sakramen-sakramen dalam Gereja Katolik, termasuk sakramen perkawinan yang sah dengan pasangan mereka masing-masing? Melalui tulisan ini, penulis ingin menjelaskan persoalan/kasus dan pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan perspektif  Hukum Kanonik Gereja Katolik.


III.   Analisa dan Penilaian atas Kasus dari Perspektif Hukum Kanonik Gereja Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan incest tidak dilihat atau digolongkan sebagai salah satu jenis hubungan perkawinan baik sah maupun putatif, tetapi dilihat sebagai salah satu halangan bagi sebuah perkawinan yang sah, yaitu karena memiliki hubungan darah (consanguinitas). Dalam hubungan dengan kasus di atas, beberapa nomor hukum kanon memberikan penjelasan khusus terhadap permasalahan yang dialami oleh Yohana, Alfons dan Us.

a.    Kanon 1058:
Semua orang dapat melakukan perkawinan sejauh tidak dilarang hukum[1].

Kanon ini menjelaskan bahwa semua orang memang mempunyai hak kodrati untuk menikah, namun hanya mereka yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah dengan sah. Berdasarkan pernyataan nomor kanon ini, tampak jelas bahwa hubungan Alfons dan Yohana tidak dapat diresmikan/disahkan dalam perkawinan Katolik, karena pada bagian lain dari hukum kanonik ini, melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan darah dekat. Namun demikian, larangan dan halangan nikah ini tidak bertujuan untuk menghapus hak kodrati seseorang untuk menikah, namun untuk mengatur pelaksanaannya. Itu berarti bahwa hak kodrati Yohana maupun Alfons untuk menikah tidak dihapus. Baik Yohana maupun Alfons tetap boleh menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Dan pernikahan itu dianggap sah hanya jika permasalahan keduanya telah diselesaikan baik secara Gereja maupun secara hukum adat. Selain itu, harus ada keterbukaan dan kejujuran dari keduanya terhadap pasangan mereka masing-masing tentang masalah hubungan mereka sebelumnya dan juga tentang keberadaan Us anak mereka. Keterbukaan dan kejujuran ini penting untuk menghindari terjadinya masalah penipuan yang bisa menggagalkan sahnya perkawinan mereka (baik Alfons maupun Yohana dengan pasangan mereka masing-masing), jika permasalahan hubungan keduanya sebelumnya itu diketahui dan dipersoalkan setelah mereka menikah dengan pasangan mereka masing-masing.
Karena larangan dan halangan ini sifatnya membatasi hak kodrati untuk menikah, perlu ada alasan-alasan yang wajar untuk melindungi, baik pribadi yang bersangkutan maupun institusi perkawinan itu sendiri. Pertama, Agar yang bersangkutan dapat menikah dan menghidupi perkawinan sesuai dengan paham dan ajaran Gereja Katolik. Kedua, Untuk mencapai nilai-nilai dan tujuan tertentu perkawinan hanya dapat dilangsungkan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Ketiga, Demi kepentingan umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat karena bagaimanapun perkawinan sekaligus bersifat personal dan sosial.[2]

b.   Kanon 1091:
§1: Tidak sahlah perkawinan antara mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang alami[3]

Lebih lanjut, ditegaskan bahwa cakupan dalam garis lurus tidak ada batasnya, sedangkan dalam garis menyamping, halangan hanya sampai dengan tingkat keempat. Halangan nikah hubungan darah ini ada yang bersifat kodrati dan ada pula yang bersifat Gerejawi. Menurut kanon ini, hubungan darah garis lurus ke atas dank e bawah dalam semua tingkat dan hubungan darah garis menyamping tingkat kedua adalah hokum kodrati. Karenanya, menurut Gereja, dari halangan ini tidak mungkin diminta dispensasi. Sementara itu, halangan nikah hubungan darah garis menyamping tingkat III dan IV merupakan hukum Gerejawi, karena itu dalam keadaan tertentu dapat didispensasi. Berdasarkan pernyataan kanon di atas, menjadi jelas bahwa hubungan antara Alfons dan Yohana dalam kasus ini merupakan hubungan terlarang dan tidak sah serta tidak bisa diangkat ke martabat perkawinan Katolik karena keduanya memiliki hubungan darah consanguinitas legitima atau hubungan darah yang muncul dari sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran Us dari hubungan mereka ini tidak dapat menjadi alasan bagi mereka untuk hidup sebagai pasangan suami istri yang disahkan oleh sakramen perkawinan Katolik.
Gereja mengetengahkan adanya halangan nikah hubungan darah ini dengan beberapa tujuan, antara lain; Pertama, secara moral; untuk melindungi kepentingan keluarga atau demi cinta kasih antaranggota keluarga sendiri. konkretnya, agar cinta kasih persaudaraan tetap terjaga kemurniannya. Kedua, secara fisik; demi kepentingan keturunan. Dari pengalaman, banyak terjadi bahwa anak dari perkawinan antarfamili/incest mengalami cacat fisik karena menurut hokum, senantiasa ada unsur dari orangtua yang diturunkan kepada anak. Seoalnya adalah jika unsur yang diturunkan itu cacat, dalam keturunan selanjutnya, sifat cacat ini akan menjadi dominan. Ketiga, secara sosial; demi kepentingan masyarakat pada umumnya, yakni supaya cinta kasih itu meluas dan tidak terbatas hanya di sekitar keluarga sendiri.

c.                Kanon 2073
Halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah[4].

Dalam kodeks yang lama dibedakan antara halangan nikah yang menggagalkan (impedimentum dirimens; kanon 1058-1066) dan yang sekedar melarang (impedimentum impediens; kanon 1067-1088). Impedimentum dirimens selalu membuat orang untuk tidak mampu menikah secara sah (impedimentum ad validitatem). Sedangkan impedimentum impediens membuat pernikahan yang tetap sah itu menjadi tidak layak (impedimentum ad liceitatem). Setiap halangan nikah selalu membuat perkawinan tidak sah. Menurut sifatnya, halangan nikah dibedakan atas  dua : Pertama, Halangan nikah kodrati, yaitu yang muncul dari kodrat perkawinan itu sendiri dan karenanya mengikat semua manusia tanpa kecuali. Ada empat halangan nikah kodrati yang tidak pernah dapat diberikan dispensasi darinya, yaitu; halangan nikah usia sejauh menyangkut kematangan fisik dan psikis (kan 1083), impotensi (kan 1084), ikatan nikah dan hubungan darah garis lurus tingkat manapun dan garis menyamping tingkat II (Kan.1091). Kedua, halangan nikah Gerejawi[5].
Dalam kasus ini, dapat dilihat bahwa Alfons dan Yohana terjerat dalam salah satu halangan nikah kodrati karena memiliki hubungan darah garis lurus ke atas. Hubungan darah yang sangat dekat antara keduanya menjadi factor yang menggagalkan mereka untuk menikah secara sah (impedimentum dirimens).

d.   Kanon 1078  §3:
Tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua[6].

Kanon ini menegaskan bahwa tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus tingkat manapun (dengan semua nenek moyang atau keturunan) atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua (dengan saudara kandung) karena keduanya merupakan halangan nikah kodrati dan termasuk perkawinan incest. Dengan ini, sangat jelas bahwa untuk perkara incest antara Alfons dan Yohana tidak pernah dapat diberikan dispensasi untuk menikah secara sah.

e.    Kanon 1137
Adalah legitim anak yang dikandung dan dilahirkan dari perkawinan yang sah dan putatif[7].

Kanon ini berbicara tentang legitimitas anak, yaitu status hukum yang dimiliki oleh anak, yang   dalam perkawinan yang sah atau putatif. Dengan status hukum ini, anak mempunyai hak dan kewajiban yang sifatnya yuridis dalam forum publik. Pada umumnya anak dikatakan “anak sah” apabila dilahirkan dari pasangan suami dan istri yang sah. Kanon mengatakan bahwa anak adalah sah jika ia dikandung dan dilahirkan dari perkawinan sah dan putatif. Tidak dihiraukan apakah dilahirkan dari pasangan suami-istri yang sah atau tidak. Berdasarkan pernyataan dan penjelasan kanon ini, dapat dilihat bahwa, keberadaan Us tetap sebagai seorang anak yang sah meskipun Alfons dan Yohana sebagai orang tua biologisnya bukan merupakan pasangan suami-istri yang sah secara hukum. Meskipun Us dilahirkan dari hubungan incest (tidak sah), tetapi dia tetap sebagai seorang anak yang sah. Selanjutnya ditegaskan dalam kanon 1139 bahwa anak yang tidak sah, disahkan dengan perkawinan orang tuanya yang menyusul kemudian, baik perkawinan itu sah maupun putatif atau dengan reskrip dari Takhta Suci[8]. Selanjutnya dalam hubungan dengan status anak, hukum sipil menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya[9].

f.     Kanon 1139
Anak yang tidak legitim dilegitimasi melalu perkawinan orangtuanya yang menyusul, entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.[10]

Kanon ini berbicara tentang legitimasi atau pengesahan anak yang lahir di luar pernikahan. Legitimasi adalah perbuatan yuridis yang membuat sah, anak-anak yang selama ini tidak sah karena dilahirkan di luar pernikahan. Dengan legitimasi ini, mereka mendapatkan status hukum sebagai anak sah dengan segala akibat yuridisinya. Legitimasi anak ini dapat dibuat dengan dua cara:
Pertama, dengan atau melalui perkawinan yang menyusul; anak yang telah lahir, dengan sendirinya menjadi anak sah dari perkawinan orangtuanya yang terjadi setelahnya (per subsequens matrimonium parentum). Dalam kasus ini, anak illigitim (Us) yang lahir di luar nikah antara Alfons dan Yohana, disahkan atau dilegitimasi seandainya nanti Yohana menikah dengan laki-laki lain dan bukan dengan Alfons (ayah biologis Us). Kedua, dengan reskrip dari Takhta Suci.

g.    Kanon 1140
Mengenai efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan dengan anak-anak legitim kecuali dalam hokum secara jelas dinyatakan lain[11].

Kanon ini menegaskan akibat-akibat yuridis yang muncul dari legitimasi ini, yakni bahwa anak yang telah terlegitimasi mempunyai hak dan kewajiban yang sama, seperti mereka yang lahir dari perkawinan sah kecuali hukum menentukan lain. Itu berarti bahwa Us menjadi anak yang sah dan karena itu dia memiliki hak dan kewajiban yang sama secara yuridis dengan anak-anak lainnya yang sah.


IV.             Kesimpulan
Hubungan yang terjalin antara Alfons dan Yohana dalam kasus di atas merupakan sebuah hubungan incest atau perkawinan antara pria dan wanita yang memiliki hubungan darah. Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, hubungan jenis ini (incest) tidak digolongkan sebagai hubungan perkawinan, baik yang sah maupun putatif, tetapi lebih dilihat sebagai salah salah satu halangan yang menggagalkan keduanya baik Alfons maupun Yohana untuk melangsungkan perkawinan secara sah. Tentang perkara ini, Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa tidak pernah dibuat dispensasi untuk mengangkat hubungan incest ke martabat perkawinan Katolik. Perkawinan sah, hanya terjadi jika baik Alfons maupun Yohana menikah dengan pasangan lain (yang tidak berhubungan darah dengan mereka), dan setelah menyelesaikan permasalahan mereka secara yuridis.
Hasil dari hubungan incest antara Alfons dan Yohana telah melahirkan seorang Us, anak mereka. Secara publik, Us bisa dilihat dan dianggap sebagai anak yang tidak sah atau dalam bahasa yang lebih kasar disebut “anak haram”. Namun, Kitab Hukum Kanonik menilainya lain, bahwa setiap anak yang dikandung dan dilahirkan baik dari perkawinan sah maupun putatif, dianggap sah. Walaupun Us dilahirkan dari sebuah hubungan yang tidak sah, namun keberadaannya bisa dilegitimasi dan menjadi sah, jika orangtuanya (ibunya yang telah membesarkannya) menikah dengan laki-laki lain, bukan Alfons (ayah biologisnya).


       [1] R.D.R. Rubiyatmoko (Ed.), Kitab Hukum Kanonik  (Jakarta: KWI, 2006), p.287.
       [2] Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.57
      [3] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p.311
      [4] Ibid., p. 290.
                [5] Robertus Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 58.
                 [6] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 291.
                 [7] Ibid, p.322
       [8] ibid.
       [9] Undang-Undang Perkawinan (Bogor: Politeia, 1984), p. 15.
       [10] R.D.R. Rubiyatmoko, Op. Cit., p. 303.
        [11] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar