Sabtu, 19 April 2014

ABORSI DARI PERSPEKTIF FONTES MORALITATES ACTUS HUMANUS


MENILAI ABORSI DARI PERSPEKTIF
              FONTES MORALITATES ACTUS HUMANUS
DAN PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA
Dionisius Rangga

I.                   PENDAHULUAN
            Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan manusia dewasa ini. Sejalan dengan itu, sadar ataupun tidak perkembangan dan kemajuan tersebut juga berdampak pada merosotnya nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Permasalahan moral di sini hanyalah salah satu aspek dari dampak negatif perkembangan itu sendiri yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini. Dan dalam tema ini, penulis ingin menyoroti secara khusus praktek aborsi yang semakin marak terjadi dewasa ini. Untuk itu, sebagai bentuk keprihatinan dan perhatian penulis terhadap masalah ini penulis memilih judul untuk tulisan ini “MENILAI ABORSI DARI PERSPEKTIF FONTES MORALITATES ACTUS HUMANUS DAN PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA”. Melalui contoh kasus yang diangkat  penulis ingin menyumbangkan pikiran dan ide-ide alternatif untuk memahami dan menganalisis aborsi sebagai sebuah masalah dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus segera diatasi dan dimusnahkan dari masyarakat kita.
           
II.                KASUS[1]
            Ratih adalah seorang siswi SLTA di sebuah kota. Ia sering menumpang Angdes (Angkutan Desa) yang dikemudikan oleh Robert ketika kembali ke kampungnya. Dari kebiasaan itulah, keduanya mulai berpacaran bahkan melakukan hubungan intim sampai Ratih hamil. Karena hamil Ratih tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Ratih tidak dapat meminta pertanggungjawaban Robert, karena lelaki yang merenggut mahkota kegadisannya itu sudah beristeri dan mempunyai 5 orang anak.
            Untuk menghilangkan aib itu Ratih meminta salah seorang rekannya mancarikan dukun yang dapat dan bersedia menggugurkan kandungannya. Dari rekannya itu, Ratih mengetahui kalau ada seorang dukun wanita bernama Sarina (64) warga desa tetangganya. Ketika mendengar rencana Ratih, Robert merasa bimbang karena ia sadar bahwa aborsi merupakan tindakan kriminal. Ia selalu merasa terganggu dengan rencana tersebut selama beberapa hari. Namun akhirnya ia menyetujui rencana tersebut.  Keduanya (Ratih dan Robert) pergi ke rumah dukun Sarina. Dukun Sarina bersedia membantu dan berhasil.
            Pembicaraan dan tindakan mereka bersama dukun Sarina ternyata diketahui oleh Toni seorang cucu Sarina yang tinggal serumah dengan sang nenek  yang sudah sering melakukan hal tersebut. Sudah lama ia coba memendamkan tindakan neneknya. Namun ia terus merasa terusik dengan sikap diamnya. Ia memberanikan dirinya untuk menceritakan hal itu kepada keluarga Ratih. Ketika keluarga Ratih mengetahui bahwa Ratih menggugurkan kandungannya, mereka langsung melaporkannya ke polisi. Pihak yang berwajib segera menangkap Ratih, Robert dan dukun Sarina untuk diproses.
            Di depan polisi Ratih dan Robert mengakui hubungan intim mereka tetapi mereka menyangkal melakukan tindakan aborsi. Mereka mengatakan bahwa Ratih mengalami keguguran spontan dan pendarahan. Robert membawa Ratih ke dukun Sarina hanya untuk diobati karena mereka takut bahwa hubungan mereka diketahui dan demi nama baik serta masa depan Ratih. Namun setelah didesak terus dan dikonfrontasikan secara langsung dengan kesaksian Toni (cucu Sarina) yang mengetahui baik tindakan pengguguran neneknya yang sudah menelan banyak korban, termasuk Ratih, mereka akhirnya mengakui perbuatannya itu.
            Ratih, Robert dan Sarina mengakui dan menyesali kesalahan mereka. Namun proses hukum tetap berjalan. Pengadilan akhirnya memutuskan hukuman penjara bagi ketiga oknum sesuai dengan bobot  kesalahan mereka.

III. ANALISA DAN PENILAIAN MORAL ATAS KASUS DARI PERSPEKTIF FONTES MORALITATES ACTUS HUMANUS DAN PRINSIP-PRINSIP BIOETIKA MORAL.

3.1 Fontes Moralitates Actus Humanus/Sumber-Sumber Kesusilaan Perbuatan Manusia.
            Bila ditinjau dari sudut moral, perbuatan konkret merupakan hasil pertumbuhan banyak unsur atau faktor. Suatu konfigurasi konkret. Konkret dalam bahasa Latin, concrescere yang berarti tumbuh bersama, menjadi padat. Agar suatu perbuatan disebut baik, semua unsurnya harus baik. Bila satu unsurnya buruk, maka perbuatan itupun buruk. Unsur itu disebut sumber-sumber kesusilaan. Menurut moralitas tradisional, ada 3 (tiga) sumber kesusilaan antara lain: pertama, Obyek (finis operis), kedua, keadaan (circumstance), ketiga, tujuan (finis operantis). Sedangkan actus humanus adalah perbuatan yang dilakukan manusia selaku pribadi manusia. Itu berarti dilakukan dengan tahu dan mau secara bebas sehingga perbuatan itu sungguh ada dalam kuasa, kontrol dan pertimbangan pelakunya, dan karena itu dia bertanggung jawab atas konsekwensi atau akibat dari perbuatannya.[2]
            Tindakan aborsi dalam contoh kasus yang diangkat dalam karya tulis ini tidak terlepas dari atau mempunyai juga unsur-unsur fontes moralitates actus humanus ini.
Berangkat dari defenisi dan pengertian di atas, maka dapat dilihat bahwa tindakan aborsi yang dilakukan oleh Ratih, Robert dan dukun Sarina pada dasarnya buruk. Mengapa buruk? Alasan pertama dan utamanya adalah bahwa aborsi merupakan sebuah tindakan pembunuhan dan pemangkasan atas hak hidup orang lain. Larangan untuk membunuh adalah hukum moral universal. Sehingga aborsi adalah pelanggaran atas norma moral tersebut. Selain itu, bila dilihat secara jeli, tindakan (aborsi) tersebut terbentuk oleh unsur-unsur  yang buruk, sehingga membangun sebuah actus humanus yang buruk atau negatif pula.  Dikatakan sebagai actus humanus yang buruk, karena tindakan aborsi dalam kasus di atas dilakukan secara tahu dan mau serta bebas, namun para pelaku enggan mau bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dari perbuatan mereka tersebut. Di sini para pelaku dinilai inkonsisten dan tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka sebagai manusia. Seharusnya yang paling berhak dan berkewajiban melindungi anak (janin) adalah ibunya sendiri yang mengandungnya. Kecuali itu ia harus dilindungi juga oleh ayahnya, negara, agama dan seluruh masyarakat.[3]
            Penulis akan menguraikan dan menganalisis tindakan para pelaku dalam kasus di atas berdasarkan unsur-unsur  fontes moralitates actus humanus tersebut.

3.1.1 Obyek (Finis Operis)
            Adalah tujuan perbuatan atau nilai intrinsik obyektif dari perbuatan itu. Obyek dari suatu tindakan atau perbuatan adalah sasaran atau tujuan terakhir dari hakekat perbuatan itu sendiri. Menyimak kasus di atas, dapat dilihat obyek (finis operis) tindakan dari masing-masing pelaku. Di sini penulis hanya memfokuskan penilaian moral atas tindakan Ratih, Robert dan dukun Sarina, karena hemat penulis ketiganya terlibat secara langsung dalam kasus tersebut dan yang seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari tindakan itu.[4]
            Tindakan Ratih dan Robert secara eksplisit mempunyai obyek yang sama yaitu menghilangkan aib. Upaya bersama Ratih dan Robert untuk  menghilangkan aib dalam konteks ini adalah sesuatu yang buruk, karena keduanya menempuh cara atau jalan pintas negatif/buruk (membunuh) demi sebuah tujuan yang secara subyektif baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa finis operis tindakan Ratih dan Robert pada prinsipnya. adalah buruk. Lain halnya dengan sang dukun, obyek dari tindakannya adalah membantu dan memenuhi permintaan Ratih dan Robert untuk menggugurkan kandungan Ratih. Perbuatan membantu orang lain dalam kesulitan pada dasarnya adalah sesuatu yang luhur dan mulia. Namun bantuan yang diberikan tidak pada waktu dan tempatnya serta bukan pada orang yang tepat dapat mengaburkan arti dan nilai positif bantuan tersebut. Obyek tindakan dukun Sarina adalah sesuatu yang buruk, karena ia memberikan bantuan dengan tahu dan mau serta dalam kesadaran bahwa tindakannya itu akan mengakibatkan kamatian bagi janin yang dikandung Ratih. Namun toh ia masih berani untuk membantu. Tindakan dukun Sarina ini dalam hubungannya dengan Ratih dan Robert adalah sebuah bentuk kerjasama yang negatif.
            Jadi, finis operis atau tujuan dari tindakan Ratih, Robert dan dukun Sarina dalam kasus di atas pada dasarnya adalah buruk dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Keburukan obyek tindakan ini merupakan salah satu unsur yang membentuk keburukan sebuah actus humanus yang dilukiskan dalam contoh kasus di atas.

3.1.2 Keadaan (Circumtance)
            Istilah circumstance (berdiri mengelilingi) melukiskan kedudukan unsur keadaan-keadaan terhadap unsur obyek yang lebih utama dan pertama. Kini apa yang sudah ditentukan oleh obyek itu, ditentukan lebih lanjut oleh keadaan yang mengitari obyek itu. Atau dengan kata lain, circumstance adalah faktor atau pengaruh-pengaruh langsung yang menambah atau mengurangi sifat moral suatu perbuatan yang sebetulnya sudah ditentukan oleh obyeknya. Untuk mengetahui dan menemukan keadaan yang mengitari obyek itu, kita bisa capai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; siapa, apa, di mana, dengan apa, mengapa, bagaimana, kapan/bilamana. Circumstance di sini mempunyai pengaruh untuk menambah kualitas dosa dari suatu perbuatan dan juga meringankan atau bahkan membatalkan kesusilaan suatu perbuatan.[5]
            Berdasarkan petunjuk dan penjelasan di atas, maka dapat ditemukan beberapa unsur  yang mengitari atau berdiri mengelilingi tindakan aborsi yang disebut sebagai circumstance (keadaan). Di antaranya: pertama, para pelaku itu sendiri yaitu Ratih, Robert, Sarina (dukun), Toni (cucu Sarina) sebagai saksi yang mengungkapkan kasus tersebut kepada pihak keluarga Ratih. Kharakter pelaku Ratih, Robert dan Sarina di sini bukan hanya tidak bertanggung jawab dan inkonsisten, tetapi lebih dari itu dinilai sebagai tipe manusia pembunuh dan tidak berperikemanusiaan. Mereka tahu dan sadar akan arti dan akibat dari tindakan itu, tapi tetap nekad melakukannya. Inilah yang memberatkan dan menambah dosa dari perbuatan mereka sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Sedangkan Toni adalah tipe seorang anak kecil yang polos dan lugu yang tidak memanipulasi kebenaran dan kenyataan yang dilihat dan dialaminya. Kepolosan serta keterbukaannya ini justru membatalkan finis operis (obyek) dari tindakan Ratih dan Robert serta menegaskan keburukan obyek tindakan (membantu) dari dukun Sarina. Kedua, keseringan menumpang Angdes yang dikendarai Robert menjadi awal dari kasus ini. Dari keseringan ini mereka mulai berpacaran bahkan lebih dari itu mereka berhubungan seks dan akibatnya Ratih hamil. Di sini, hukum kedekatan sungguh terjadi dan berlaku pada Ratih dan Robert dan Ratih sendiri menjadi korban di dalamnya. Kedekatan dan kenikmatan seksual yang dialami keduanya mendatangkan petaka  yang harus mereka bayar mahal; Ratih hamil dan janin yang dikandungnya digugurkan, ia tidak mendapat pertanggungjawaban dari Robert karena Robert sudah beristeri dan mampunyai anak, ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan ketiganya (Ratih, Robert dan Sarina) harus berurusan dengan pihak kepolisian dan akhirnya mendekam dalam penjara setelah perbuatan kriminal mereka terungkap oleh kesaksian Toni cucu Sarina. Ketiga, kesediaan rekan Ratih untuk mencarikan dukun yang bersedia menggugurkan kandungan Ratih. Rekan Ratih ini secara tidak langsung mengambil bagian pula dalam masalah ini, dan seharusnya bertanggung jawab pula atas kematian janin yang digugurkan itu. Karena dari padanya Ratih dapat mengetahui keberadaan Sarinah, sekalipun itu atas permintaan Ratih sendiri. Di sini ia bertindak sebagai pengantara atau “jembatan” yang menghubungkan Ratih dan Robert dengan dukun Sarinah untuk melakukan perbuatan terkutuk tersebut; aborsi. Keempat, kesediaan dukun Sarina untuk membantu Ratih dan Robert hingga berhasil. Bantuannya itu tidak bernilai dan berarti sedikitpun, bahkan merupakan sebuah kejahatan. Ia telah mengambil  bagian dalam sebuah kerjasama yang negatif dan persekongkolan penjahat, dengan bertindak sebagai salah satu pelaku dalam tindakan aborsi tersebut. Kelima , Robert sadar bahwa aborsi adalah tindakan kriminal dan ia selalu merasa terganggu dengan rencana Ratih. Keenam, Robert akhirnya memutuskan untuk menemui dukun Sarina untuk melakukan aborsi. Pengambilan keputusan dalam keadaan yang ragu-ragu dan dihantui oleh perasaan cemas akan mengakibatkan sebuah tindakan yang keliru dan beresiko. Di sini Robert terlalu dini dan terlanjur mengambil sebuah keputusan dengan mengiakan dan menyetujui pengguguran kandungan Ratih. Ia terdesak dan dituntut oleh situasi. Tapi itulah satu-satunya cara dan jalan untuk mencapai finis operis mereka. Ketujuh, Robert sudah beristeri dan mempunyai anak sehingga tidak mungkin bertanggung jawab atas Ratih. Tindakan Robert tidak hanya membawa aib bagi Ratih dan dirinya, tapi juga bagi keluarganya, dengan mengkhianati dan menyakiti isteri dan anak-anaknya. Kedelapan, Ratih akhirnya tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Itulah resiko yang harus Ratih terima dan ia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Dengan ini masa depannya sepertinya semakin jauh dari hadapannya. Pertobatan ialah langkah awal yang paling pas sebelum membuka lembaran baru dalam hidupnya.

3.1.3 Maksud Atau Tujuan (Finis Operantis)
            Adalah motif, intensi subyektif pelakunya. Finis operantis biasanya dilukiskan sebagai alasan mengapa, untuk apa subyek melakukan sesuatu. Finis operantis dapat identik dengan finis operis, namun tidak otomatis dan mutlak, karena finis operantis dapat mengubah atau membelok finis operis atau bahkan dapat bertentangan dengannya. Fungsinya adalah menunjuk motif pendorong dan sasaran subyektif (pelakunya) dalam melakukan perbuatan tertentu. Namun  finis operantis tidak identik dengan motif obyektif yang juga mempunyai maksudnya sendiri.
            Finis operantis atau motif yang mendorong Ratih dan Robert dalam melakukan aborsi adalah agar hubungan keduanya yang mengakibatkan kehamilan pada Ratih tidak diketahui oleh siapapun. Dengan demikian nama baik keduanya di mata keluarga dan masyarakat tetap utuh dan terjaga. Juga sebagai upaya untuk menyelamatkan masa depan Ratih sendiri. Dalam kasus ini finis operis diupayakan untuk mewujudkan finis operantis. Dengan menghilangkan aib nama baik mereka tetap utuh dan terjaga sehingga Ratih tetap boleh menjalani pendidikan di sekolahnya untuk mengejar cita-cita dan masa depannya. Tampak jelas bahwa finis operis dan finis operantis di sini sejalan, tidak bertentangan. Namun, kesejalanan itu akhirnya gagal dan dibatalkan oleh keberanian Toni  yang mengungkapkan kejahatan tindakan yang dilakukan oleh Ratih, Robert dan dukun Sarina. Finis operantis dalam kasus ini adalah sesuatu yang buruk secara moral. Hal ini dinyatakan dan ditentang secara tegas oleh kaum pendukung pro life yang mengatakan bahwa kehidupan (awal mulainya pembentukkan pribadi manusia) mulai pada saat terjadinya konsepsi dan bahwa pemutusan kehidupan manusia yang tak berdosa secara langsung selalu salah.[6]

3.2 Prinsip-Prinsip Bioetika Moral
3.2.1 Prinsip Penghormatan Terhadap  Hidup Manusia Sebagai Pribadi Unik dan Tak Dapat Diganggu Gugat.
            Penghormatan terhadap hidup manusia merupakan salah satu prinsip pokok dari setiap idiologi dan budaya. Tanpa sikap  dasar tersebut, tidak mungkin dipikirkan atau dibayangkan tentang hidup bersama dan keharmonisan di antara bangsa manusia. Penghargaan terhadap hidup manusia merupakan warisan bagi hidup bersama dan kelangsungan hidup umat manusia. Penghormatan terhadap hidup manusia merupakan unsur universal dari kesadaran etis setiap orang. Meski demikian, selalu ada usaha-usaha yang merugikan manusia itu sendiri, berupa kegiatan-kegiatan seperti: pembunuhan, hukuman mati, perang, penyiksaan, penyanderaan dll.[7]
            Bila menyimak kasus yang diangkat dalam karya tulis ini, sangat jelas bahwa tindakan Ratih, Robert dan dukun Sarina bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap penghormatan terhadap hidup manusia sebagai pribadi unik. Dengan menyangkal prinsip universal ini, ketiga pelaku ini bisa dinilai dan dianggap sebagai ancaman yang meresakan keharmonisan kehidupan bersama dalam masyarakat. Ketiganya telah kehilangan kesadaran etis yang menjadi unsur hakiki dalam diri mereka untuk melihat sesamanya sebagai pribadi unik yang harus dihormati termasuk janin yang dikandung Ratih.
            Perbuatan abortif ini mendapat perlawanan keras dan kutukan dari Thomas Aquinas (1225 -1274). Ia menekankan penghormatan terhadap hak  hidup setiap manusia dan menghukum segala bentuk percobaan yang melawan dan merugikan manusia, pribadi dan hidup orang lain. Di sini terjadi konflik, ketika kenyataan-kenyataan yang terjadi bertolak belakang atau bersilangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Aborsi adalah perbuatan tidak berperikemanusiaan, karena dengannya martabat manusia sebagai nilai konstitutif yang menentukan keberadaan manusia sebagai manusia disangkal dan diberangus.[8] Dengan aborsi martabat dan nila-nilai kemanusiaan mengalami kemerosotan bahkan di ambang degradasi.   

3.2.2 Prinsip-Prinsip Bioetika Modern
3.2.2.1 Utilitaris[9]
            Para penganut aliran ini berpandangan bahwa hidup manusia tidak mempunyai arti atau nilai dalam dirinya sendiri, tetapi selalu ditentukan oleh keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dalam suatu masyarakat. Atau dengan rumusan lain, seseorang mempunyai arti sesuai dengan apa yang dapat diberikannya kepada masyarakat. Kaum utilitaris menekankan “kebaikan yang lebih besar” dan relativitas segala peraturan dan larangan-larangan. Dalam arti peraturan dan larangan-larangan itu boleh dilanggar kalau menghalangi pencapaian kebaikan yang lebih besar bagi jumlah yang lebih besar pula.
            Bertolak dari prinsip dan penekanan aliran ini, maka tindakan pengguguran dalam kasus di atas tidak terlalu memberatkan, karena janin yang digugurkan itu belum memiliki nilai dan arti sebagai manusia. Apalagi ia belum memberikan sumbangan apapun terhadap mesyarakat. Sehingga tindakan aborsi di sini bukanlah tindakan pembunuhan dan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena janin belum digolongkan sebagai menusia yang harus dihormati hak hidupnya. Akan tetapi, prinsip aliran ini akan ditantang dan dinegasi oleh prinsip neokontralitalis yang menekankan otonomi setiap manusia.

3.2.2.2 Neokontralitalis
       Dua tokoh utama neokontralitalis Thomb L. Beauchamp dan James F. Childress mengungkapkan 4 (empat) prinsip utama yang dapat mengorientasikan secara moral keputusan-keputusan dan tindakan para peneliti medis dan paraPertama, penghormatan terhadap otonomi. Kedua, Nomalefisiensi atau keputusan dan tindakan yang mengakibatkan penderitaan dan rasa sakit dan kerugian. Ketiga, Benefisiensi yaitu keputusan dan tindakan yang mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Keempat, Prinsip otonomi.
medis dalam menghadapi masalah-masalah hidup dan kesehatan, antara lain:
            Bedasarkan keempat prinsip di atas, kasus yang diangkat di sini lebih mengena dengan prinsip nomalefisiensi yaitu keputusan dan tindakan yang mengakibatkan penderitaan, rasa sakit, kerugian dan bahkan kematian orang lain (janin). Itu tidak berarti bahwa kasus itu tidak berhubungan sama sekali dengan ketiga prinsip lainnya. Untuk itu penulis akan menguraikan secara terperinci keempat kasus tersebut dalam hubungannya dengan kasus aborsi dalam tulisan ini.
            Pertama, ulah Ratih, Robert dan Sarina adalah tindakan yang tidak menghormati otonomi janin itu sendiri dan sekaligus pemangkasan terhadap haknya untuk hidup sebagai hak dasar atau asasi setiap manusia. Keputusan dan tindakan Toni untuk mengungkapkan kasus tersebut, disadarinya atau tidak merupakan sebuah bentuk tidak langsung penghormatan terhadap otonomi manusia lain (janin). Sekalipun sikapnya itu lebih didorong untuk menghilangkan rasa takut dan cemas yang terus mengusiknya. Kedua, Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa keputusan dan tindakan para pelaku dalam kasus tadi menyebabkan penderitaan dan kematian pada janin itu sendiri. Ketiga, Pada bagian ini, penulis lebih menyoroti keputusan dan tindakan Toni.  Keputusan dan tindakan mengungkapkan kasus itu memang secara langsung tidak menolong atau mendatangkan kebaikan pada korban sendiri (janin), akan tetapi di satu pihak ia dinilai telah melakukan sesuatu yang baik dan positif. Dengannya kejahatan para pelaku terungkap dan tidak dibiarkan hidup dalam masyarakat. Hukuman yang mereka jalani merupakan sebuah proses menuju penyesalan dan pertobatan. Keempat, Tindakan para pelaku dalam kasus tidak berdasarkan prinsip otonomi. Para pelaku umumnya bertindak karena pengaruh eksternal atau tekanan dari luar yang selalu mengusik mereka. Sehingga mereka bukanlah pribadi otonom dalam konteks ini.

IV. PENUTUP
            Hidup selayaknya dilihat dan dihargai sebagai anugerah Tuhan yang sangat berharga. Dengan memiliki sikap itu kita akan terpanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan sejauh mungkin. Pemeliharaan juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur atas anugerah Allah kepada kita. Kecuali itu, kita juga yakin bahwa kehidupan manusia mempunyai martabat yang lebih tinggi dari makhluk ciptaan lainnya. Maka manusia dalam keadaan dan bentuk apapun harus dilindungi serta dihargai hak hidupnya.
            Aborsi adalah sikap perusakan terhadap kehidupan dan martabat manusia dan telah menjadi problema modern yang paling gawat. Pembunuhan terhadap manusia sebagai citra Allah berarti manusia bercampur tangan dalam hak-hak Allah.[10] Aborsi atau pengguguran dalam bentuk dan alasan apapun tidak dapat dibenarkan dari segi moral hidup sehingga harus ditolak.  Kita dituntut untuk menghargai dan menghormati hidup manusia sejak dalam kandungan hidupnya. Seluruh masyarakat harus disadarkan untuk melindungi janin dalam kandungan. Kalau bukan masyarakat dan kita, siapa lagi yang akan mampu melindungi mereka yang tidak bersalah dan tidak mampu membela diri itu? Mari kita bangun semangat dan komitmen bersama sebagai kelompok anti pembunuhan terhadap manusia dalam bentuk apapun termasuk aborsi.





                [1] Frans X. E. Byre, Soal Ujian Teologi  Moral Dasar (Manuskrip);  (Maumere: Ledalero, 2005)
                [2]  Frans X. E. Byre, Teologi Moral Dasar (Manuskrip);  (Maumere: Ledalero, 2006), p. 3
                [3]  Al Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya;  (Yogyakarta: Kanisius, 1990) p. 34
                [4] Frans X. E. Byre, Op. Cit.
                [5] Ibid
                [6] Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini;  (Yogyakarta: Kanisius, 2006) p. 48
                [7]  Gregorius Nule, Bioetika Moral (Manuskrip), (Maumere:  Ledalero, 2008)
                [8]  Charles Lama Beraf, Dalam makalah untuk seminar: Eksekusi Mati, Keadilan dan Kita; (Ledalero, 2 Desember 2006)
                [9] Gregorius Nule, Op. Cit.
                [10] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi (jilid III), (Maumere: Ledalero, 2003) p. 136

1 komentar: